Pengepungan Batavia oleh Pasukan Mataram (dibuat setelah tahun 1680)
Lukisan diri Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen oleh Jacob Waben.
Gubernur Jenderal yang perkasa itu pun ditaklukkan hidup dan jayanya oleh pengepungan Mataram
Sultan Agung dan peta Pulau Jawa.
Ambisi besarnya menaklukkan Batavia gagal
Suatu waktu, para serdadu Belanda yang direkrut VOC
(Vereenigde Oost Indische Compagnie) pernah “dipaksa” mempertahankan Batavia (kini
Jakarta, ibukota Republik Indonesia) habis-habisan. Itu terjadi dua kali, di
tahun 1628 dan 1629. Kerajaan Mataram (Islam) dengan kekuatan besar mencoba
menghancurkan Batavia yang ketika itu menjadi markas VOC, yang dapat dikatakan
sebagai pertempuran dahsyat setelah pertempuran antara pasukan Fatahilah
melawan pasukan Portugis di wilayah yang sebelumnya bernama Sunda Kalapa tersebut.
Meskipun kemenangan diraih VOC, namun VOC juga menanggung kerugian besar yang
hampir sama besarnya dengan Mataram.
Sebagai wadah persekutuan pedagang Belanda, VOC menerima hak istimewa yang salah satunya adalah berhak mengadakan perjanjian, berperang, atau berdamai dengan raja-raja setempat dan mendirikan benteng. Maka dari itu, para pedagang VOC yang akan berlayar menuju wilayah-wilayah seberang lautan yang belum atau telah mereka tempati selalu membawa serta para tentara dan angkatan laut. Di tempat itu pun selain terdapat kota, kantor dagang, juga dibangun benteng sebagai pertahanan. Setelah sebelumnya bermarkas di Ambon (Maluku), pilihan VOC pun jatuh pada Jayakarta yang kala itu dikuasai Kesultanan Banten. Setelah menduduki Jayakarta, VOC membangun tempat baru yang dinamakan Batavia.
Dahulu, Batavia tidaklah seluas Jakarta di masa kini. Dibangun dengan arsitektur khas negeri kincir angin tersebut, Batavia menjadi pusat perekonomian dan pertahanan VOC di Pulau Jawa. Tentu saja kehadiran VOC tidak hanya menimbulkan persaingan dengan kerajaan seperti Banten dan Mataram, juga berakibat permusuhan antara kerajaan-kerajaan tersebut dengan VOC. Orang-orang Banten dan Mataram menganggap VOC mengancam kegiatan perekonomian mereka, sebaliknya VOC menganggap kerajaan-kerajaan itu sebagai hama yang akan menghalangi perdagangan mereka di Pulau Jawa, utamanya di sepanjang pantai utara.
Batavia di tahun 1627
Retaknya Hubungan Mataram-VOC
Pada tahun 1619, VOC berhasil merebut Jayakarta dari
Pangeran Jayakarta dan Kesultanan Banten. Jayakarta pun “dibangun ulang” dan diganti
namanya menjadi Batavia. Berita jatuhnya Jayakarta ke tangan VOC sampai juga ke
Mataram. Menyadari kemampuan VOC, Sultan Agung tergerak untuk memanfaatkan VOC
sebagai jalan menaklukkan Kesultanan Banten dan Surabaya. Meskipun pada
kenyataannya, VOC menolak membantu Mataram untuk menaklukkan Surabaya. Hubungan
baik dengan VOC yang telah dibangun pun putus.
Sebelumnya, VOC yang kala itu masih bermarkas di Ambon
(Maluku) telah mengirimkan duta ke Mataram. Tujuannya adalah agar Sultan Agung
memperbolehkan VOC untuk mendirikan loji-loji dagang di wilayah pantai utara
Pulau Jawa. Namun, Sultan Agung menolak, karena dikhawatirkan kehadiran
orang-orang Belanda di wilayah itu akan menjadi gangguan ekonomi bagi Mataram.
Namun, dalam Hikajat
Tanah Hindia disebutkan bahwa VOC telah diberikan izin untuk mendirikan
sebuah loji dagang di Jepara. Berawal dari perjanjian hubungan baik antara VOC
dengan Mataram. Hal mana kemudian dirusak dengan tindakan VOC yang ingin mendirikan
sebuah benteng secara ilegal di Jayakarta sebagai perintis merebut wilayah itu
dari tangan Penguasa Jayakarta dan Kesultanan Banten. Perjanjian dengan Sultan
Agung secara otomatis tidak berlaku lagi.
Hubungan itu semakin memburuk ketika loji dagang di
Jepara itu pada tahun 1618 dijarah dan sebagian orang Belanda di sana dibunuh.
Tidak diketahui pasti mengapa hal itu bisa terjadi, hanya dikatakan bahwa
Mataram tersinggung atas penolakan VOC yang tidak ingin berperang melawan
Banten secara berdampingan dengan Mataram. Aksi pembunuhan dan penjarahan
terhadap loji dagang VOC itu dijawab dengan penyerangan terhadap Jepara dari
laut, setelah permintaan Gubernur Jenderal J.P. Coen agar Mataram melepaskan
orang-orang Belanda yang ditawan tidak dipenuhi oleh pemerintah setempat di
Jepara.
Keberhasilan VOC di Jayakarta Kembali "Memikat" Mataram
Keberhasilan VOC tersebut ternyata mengubah arah
kebijakan Sultan Agung ke luar wilayah kekuasaan Mataram. Selain Surabaya,
sasaran Mataram yang lain adalah Kesultanan Banten. Bagi Sultan Agung, bukan
perkara mudah jika menyerbu Banten sementara VOC sudah berada di Batavia.
Apalagi dengan retaknya hubungan antar kedua pihak, dikhawatirkan VOC akan menjadi
penghalang besar bagi Mataram yang ingin menaklukkan Banten. Mataram pun
mengirimkan bupati Tegal, Kyai Rangga sebagai duta ke Batavia. Pengiriman Kyai
Rangga ke Batavia dimaksudkan agar VOC mau menerima tawaran damai dengan
syarat-syarat yang diajukan.
VOC yang menikmati kesuksesan setelah merebut
Jayakarta menolak tawaran damai tersebut. Lagipula, pihak VOC berpikir tidak
ada gunanya menjalin hubungan baik dengan Mataram lagi. Apalagi Batavia
merupakan tempat yang dipandang strategis bagi VOC, yang nantinya akan
meloloskan usaha mendominasi perdagangan. Itu pun termasuk dengan kekesalan VOC
atas apa yang pernah terjadi di Jepara. Penolakan tersebut sampai ke telinga
Sultan Agung. Sultan Agung yang berang atas penolakan VOC pun menyatakan
perang.
Penyerangan Besar ke Batavia
Armada
Tumenggung Bahureksa dikirim ke Batavia beserta bawaan yang terdiri dari 150
ekor sapi, 5.900 karung gula, 26.600 buah kelapa, dan 12.000 karung beras. VOC
pun mempertanyakan maksud dan tujuan kedatangan mereka, yang dijawab oleh pihak
Mataram sebagai keinginan berdagang dengan Batavia. VOC yang curiga tetap menyetujui
kapal-kapal itu boleh merapat, dengan syarat satu demi satu saja, tidak
serentak. Masih tidak yakin dan curiga, sebanyak 100 orang serdadu dari
garnisun Kasteel (benteng) ditempatkan di luar untuk berjaga-jaga. Kecurigaan
sekaligus kekhawatiran VOC tidak lebih dari sesuatu: pasukan Mataram menyerang
mereka dengan terang-terangan atau tipu muslihat.
Di hari ketiga, sebanyak 7 kapal Mataram baru datang
dengan alasan meminta surat jalan agar bisa berlayar ke Malaka. Mendapati
gelagat mencurigakan, dua benteng kecil di utara diperkuat. Artileri pun
disiapkan sebagai antisipasi. Apa yang dikhawatirkan VOC menjadi kenyataan.
Tanpa diduga, kapal-kapal Mataram mendaratkan pasukan tepat di depan Kasteel.
Para serdadu yang terkejut segera menyelamatkan diri ke benteng kecil. Pasukan
penjaga di Kasteel pun menembaki pasukan Mataram yang mencoba mendekat.
Pada tanggal 25 Agustus, sebanyak 27 kapal Mataram
datang lagi. Namun, kali ini kapal-kapal itu tidak mendekati Kasteel, dan hanya
berlabuh di lokasi yang jauh dari Kasteel. Sementara itu di selatan Batavia,
pasukan Mataram juga mendekat dengan membawa panji-panji perang. Mataram telah
serius berperang menghadapi orang-orang Belanda tersebut. Keesokan harinya, sebanyak
1.000 pasukan Mataram telah berada di depan Batavia dan memasang kuda-kuda.
Benteng Hollandia di sebelah tenggara kota diserang pada 27 Agustus, namun
pasukan yang dipimpin Letnan Jacob van der Plaetten berhasil menghalangi mereka
setelah melewati pertempuran dahsyat. Kapal-kapal Belanda kemudian berdatangan
dari Banten dan Pulau Onrust sebagai bantuan untuk mereka yang bertahan di
Batavia, yang kemudian mendaratkan 200 prajurit.
Pada Oktober 1628, pasukan Mataram kedua tiba. Mereka
dipimpin oleh Pangeran Mandurareja, cucu Ki Juru Martani (dalam Hikajat Tanah
Hindia, disebutkan bahwa yang memimpin adalah Panglima Suro Ing Ngalaga).
Kekuatan pasukan Mataram yang mengepung Batavia kini ada 10.000 prajurit.
Lagi-lagi, Benteng Hollandia menjadi sasaran gempuran dahsyat pasukan Mataram.
Serdadu VOC yang berada di benteng tersebut beruntung karena pasukan Mataram
gagal akibat kurangnya perbekalan. Keberanian para serdadu VOC mulai timbul,
mereka berbalik menghajar pasukan Mataram.
Kekalahan ini sampai pada Sultan Agung. Tentu saja
berita ini membuatnya sangat kesal dan marah. Ia mengirimkan para algojo di
bulan Desember 1628 untuk mengeksekusi Tumenggung Bahureksa dan Pangeran
Mandurareja. Setelah pertempuran itu, para serdadu VOC menemukan 744 jasad
pasukan Mataram yang berserakan di luar Batavia, yang konon dieksekusi atas
perintah Panglima Suro Ing Ngalaga. Sebagian jasad itu ditemukan tanpa kepala.
Belakangan, Panglima Suro Ing Ngalaga juga dieksekusi atas perintah Sultan
Agung.
Tidak ingin gagal, Sultan Agung memerintahkan serangan
kembali ke Batavia. Kali ini sejumlah persiapan diperhatikan, termasuk pula
perbekalan. Sebanyak 80.000 orang dan persenjataan dikumpulkan. Pada bulan Mei
1629, pasukan Mataram kembali menuju Batavia di bawah pimpinan Adipati Ukur.
Disusul oleh pasukan kedua pimpinan Adipati Juminah pada bulan Juni 1629. Di
Karawang dan Cirebon, lumbung-lumbung beras didirikan di tempat yang
dirahasiakan. Hikajat Tanah Hindia
hanya menyebutkan satu tempat, lumbung beras itu ada di Tegal. Namun, pihak VOC
sepertinya tidak mengenal kata jera menghadapi Mataram. Lumbung-lumbung padi
itu ditemukan dan dimusnahkan berkat laporan mata-mata VOC.
Akibatnya, pasukan Mataram gelombang kedua ini
kekurangan perbekalan. Belum lagi penyakit malaria dan kolera yang menimpa
mereka. Entah karena tidak ada pilihan lain atau tidak mau bernasib seperti
pasukan gelombang pertama yang dieksekusi, pasukan Mataram gelombang kedua ini
tetap meneruskan perjalanan ke Batavia. Tanggal 21 Agustus 1629, mereka sudah
dalam keadaan lemah ketika mencapai Batavia. Melihat sedikit keberuntungan,
para serdadu VOC menjadi bersemangat menghalau serangan pasukan Mataram. Pihak
Mataram tidak kekurangan akal. Mereka membendung dan mengotori Sungai Ciliwung.
Pihak VOC yang sebelumnya sudah bersorak-sorai akan menang kembali panik. Wabah
kolera pun turut menimpa Batavia.
Pihak VOC akhirnya berhasil menang kembali. Namun,
kemenangan ini harus dibayar mahal dengan wafatnya Gubernur Jenderal Jan
Pieterszoon Coen yang menjadi korban, setelah sebelumnya istrinya juga wafat. Jan
Pieterszoon Coen kemudian dimakamkan di Batavia dengan upcara pemakaman
layaknya untuk orang besar. Kematian Sang Gubernur Jenderal sendiri mengundang
kontroversi. Ada yang menyebutkan bahwa ia wafat karena wabah
kolera tersebut, namun ada juga yang mengatakan bahwa ia dibunuh dengan cara
dipenggal oleh mata-mata Mataram. Kepalanya kemudian dibawa dan ditanam di
bawah tangga pemakaman para Raja Mataram di Imogiri, Bantul, Yogyakarta.
Sementara pihak VOC merengkuh kemenangan sekaligus
duka cita bersama di Batavia, pihak Mataram yang kembali ke negerinya mengalami
penderitaan di sepanjang perjalanan. Mayat-mayat manusia dan hewan berserakan.
Senjata-senjata dan meriam juga ditinggalkan begitu saja di sepanjang jalan
yang mereka lewati. Lagi-lagi, Sultan Agung memerintahkan eksekusi atas
beberapa panglima dan banyak anak buah mereka terkait kegagalan menyerang
Batavia yang kedua.
Sumber:
- Hikajat Tanah Hindia, oleh G.J.F. Briegman. Dicetak di percetakan Goebernemen, Batavia 1894
Terima kasih ya...
BalasHapus