Johannes van den Bosch. Pernah menjadi salah satu Gubernur Jenderal
di Hindia Belanda. Hal yang paling terkenal darinya adalah ia sebagai pelopor Cultuurstelsel
yang menimbulkan pro dan kontra di negeri Belanda sendiri
Para pekerja tanam paksa Cultuurstelsel sedang memanen tebu
yang nantinya akan diproses menjadi gula batu dan gula pasir
Tanaman kopi sebagai salah satu produk Cultuurstelsel. Dari buahnya,
terciptalah salah satu minuman yang mendunia hingga saat ini
Teh sebagai salah satu produk Cultuurstelsel. Dari daunnya, salah satu minuman
yang tak kalah mendunia dari kopi tercipta
Tebu sebagai salah satu produk Cultuurstelsel. Dari air yang terkandung di dalamnya,
terciptalah gula batu dan gula pasir yang memaniskan namun tidak semanis
sejarah Cultuurstelsel yang pernah mengiringinya
Pagi ini, sebenarnya saya tidak berniat untuk kembali membuat entri baru di blog ini. Saat sedang menikmati secangkir teh, tiba-tiba saya langsung teringat sesuatu tentang minuman yang berasal dari daun teh ini pada masa lalunya di Hindia Belanda: dipasarkan karena Cultuurstelsel! Inspirasi dari secangkir teh pun datang, saya segera membuka-buka berbagai buku dan ebook sejarah koleksi saya. Dari sebuah buku yang sebenarnya bertema tentang sejarah Freemasonry/Vrijmetselarij di Hindia Belanda justru saya dapatkan info tentang Cultuurstelsel yang berdasarkan dari sudut pandang seorang
berkebangsaan Belanda dan salah satu "orang besar" Freemasonry itu sendiri. Ya, beliau adalah Dr. Th. Stevens sang penulis buku itu. Saya menilai bahwa ulasan mengenai Cultuurstelsel yang disinggung dalam buku itu (meski dari sudut pandang Belanda) adalah adil dengan penilaian masyarakat Indonesia. Saya pun menjadikan ulasannya sebagai entri baru blog sederhana saya ini.
berkebangsaan Belanda dan salah satu "orang besar" Freemasonry itu sendiri. Ya, beliau adalah Dr. Th. Stevens sang penulis buku itu. Saya menilai bahwa ulasan mengenai Cultuurstelsel yang disinggung dalam buku itu (meski dari sudut pandang Belanda) adalah adil dengan penilaian masyarakat Indonesia. Saya pun menjadikan ulasannya sebagai entri baru blog sederhana saya ini.
Perdamaian
di Eropa pulih setelah Perang Napoleon berakhir pada tahun 1815. Sebagian besar
wilayah yang pernah direbut lnggris di kembalikan kepada Belanda. Untuk
memperbaiki keadaan koloninya di Hindia Belanda, diangkat Komisi Jenderal yang
bertujuan untuk memulihkan pemerintahan Belanda di wilayah itu. Pihak
pemerintah di negeri induk ingin menerapkan kebijakan baru yang meninggalkan
sistem budaya paksa yang lazim di masa pemerintahan VOC.
Pihak
pemerintah Hindia Belanda diberi tugas menggariskan kebijakan yang lebih
liberal-humanistis yang mulai berkembang saat itu. Timbul pendapat yang baru
yang berpendapat bahwa pemerintah pusat (di Den Haag) berhak atas sebagian
hasil usaha di Hindia Belanda, namun hal itu tidak boleh merugikan pendudul
pribumi.
Dengan
titik tolak itu tersentuhlah dilema moral tentang kolonialisme Belanda, yang
sejak awal abad ke-19 dihadapi oleh pemerintah. Zaman kepentingan Belanda yang
tak terbatas sudah berlalu seperti dinyatakan dalam peraturan pemerintah tahun
1818 (pasal 77), "Dalam memberlakukan pajak-pajak baru dan mengetrapkan
pajak-pajak yang sudah ada, kepentingan negeri dan kenyamanan penduduk sebanyak
mungkin harus diperhatikan. Semua pajak yang menyiksa dan memberatkan tidak
diperbolehkan".
Bahwa kenyataan pada waktu Cultuurstelsel (undang-undang
pembudidayaan tanaman), pada awal tahun-tahun 1830-1870 sangat bertolakbelakang
dengan aturan sebenarnya, tidaklah mengurangi prinsip bahwa rakyat harus diperlakukan
secara adil. Bertahun kemudian, pegawai negeri Eduard Douwes Dekker,
berpegang pada jiwa pasal ini untuk membuka kedok pemerasan pemerintah kolonial
terhadap penduduk di daerah Lebak.
Di
masa sebelum pemberlakuan Cultuurstelsel pada tahun 1830, pemerintah Hindia
Belanda mulanya mengutamakan kepentingan rakyat. Pemerintah menjalankan garis
haluan ekonomi-liberal yang tidak begitu menekan, namun kurang memberikan
keuntungan kepada Belanda. Pemerintah pusat di negeri Belanda yang sedang
bergumul dengan masalah keuangan tidak dapat menerima keadaan ini dan tidak
lama kemudian timbullah perubahan kebijakan. Dalam usaha mencari berbagai
sumber pemasukan yang baru, kelihatannya pemecahannya hanya dapat datang dari
Hindia. Pecahnya pemberontakan di Belgia pada tahun 1830 dan pembiayaan tentara
bertahun-tahun lamanya telah kian menipiskan keuangan kas negara yang sangat
memberatkan. Pentingnya Hindia Belanda sekali lagi menjadi nyata.
Pihak
pemerintah Belanda memutuskan untuk menjalankan suatu bentuk eksploitasi
agraria yang sangat mirip dengan apa yang dilakukan pada zaman VOC, dan mulai
saat itupun orang berbicara tentang Cultuurstelsel atau "sistem
pembudidayaan tanaman yang diperkenalkan atas perintah penguasa
tertinggi", Konsep ini dirancang oleh Van den Bosch yang menghasilkan
jutaan gulden seperti telah diperkirakan semula dan Hindia Belanda sekali lagi
menjadi milik yang sangat menguntungkan. Metode yang diterapkan menyebabkan
penduduk hidup dalam keadaan setengah perbudakan. Mereka wajib menanam tanaman
yang di paksakan pernerintah dalam jumlah yang makin lama makin besar. Sementara
itu imbal jasa yang diperoleh penduduk sangat kecil. Kecerdikan cultuurstelsel
itu terletak dalam cara memakai para pemegang kekuasaan tradisional, para
kepala rakyat, yang dibayar dengan baik untuk jasa mereka. Dengan sistem
paksaan ini, Jawa telah menghasilkan begitu banyak keuntungan untuk kepentingan
Belanda, sehingga Jawa disebut juga pelampung yang menyelamatkan Nederland dari
bahaya tenggelam.
Sekitar
tahun 1865 sisa dari anggaran Hindia, yang disebut "laba tersisa"
berjumlah kira-kira sama besarnya dengan sepertiga dari seluruh pemasukan kas
Belanda. Pengeluaran untuk Hindia dipenggal sedemikian rupa, sehingga untuk
'memajukan' penduduk hampir-hampir tidak ada uang. Walaupun banyak kecaman, dan
banyak orang sadar betapa tidak adilnya tekanan pajak yang begitu tinggi,
hal-hal itu tidak berpengaruh terhadap kebijakan yang dijalankan.
Komunitas
kolonial pada zaman cultuurstelsel bersifat birokratis. Ungkapan ''pada mulanya
adalah pegawai negeri" betul-betul diterapkan. Hanya sedikit saja yang
menjalankan profesi bebas, dan kedatangan orang-orang baru diamati dengan
ketat. Di Jawa gerak bebas diba tasi, tidak ada kebebasan pers, begitu juga
tidak ada kebebasan berhimpun ataupun mengadakan rapat. Yang ada hanyalah suatu
komunitas yang dikekang, dengan jumlah warga yang sedikit, yang seakan dirancang
untuk melayani kepentingan materiil negeri induk. Suasana untuk prakarsa pihak
swasta dalam keadaan seperti itu tidak kondusif, dan kalau pun ada yang muIai
dijalankan, maka kerja sama dengan pihak pemerintah mutlak djperlukan agar
berhasil.
Yang
dimaksudkan dengan istilah Hindia Belanda selama tujuh puluh lima tahun pertama
abad ke-19 adalah Pulau Jawa. Produk-produk dari Jawa seperti kopi, gula, dan teh
yang muncul di pasar dunia dan hanya di Jawa kepentingan Belanda terpusat.
Pemerintahan kolonial hanya satu kali mengalami ujian berat, yaitu pada waktu
berlangsungnya Perang Jawa (1825-1830), yangmemakan korban puluhan ribu orang,
dan yang menancapkan di benak penduduk bahwa mereka tidak dapat melawan
kekuasaan Belanda. Oleh karena cultuurstelsel membutuhkan perhatian penuh
pemerintah di Batavia, maka pulau-pulau di luar Jawa tidak diganggu. Untuk
wilayah-wilayah itu berlaku: semakin tidak didengar, semakin baik. Belanda
tidak memiliki sumber keuangan maupun sumber daya manusia untuk melebarkan
pengaruhnya ke sana. Keadaan
ini baru berubah pada tahun 1870, suatu tahun yang dalam banyak hal menandakan
penutupan suatu kurun waktu.
Meninjau
kembali periode itu, dapat dikatakan bahwa akhir hayat VOC telah timbul
kesadaran bahwa rakyat berhak untuk diperlakukan secara adil. Ketika masalah
keuangan negara menjadi terlalu berat untuk Pemerintah Belanda, pemerintah
mencari jalan keluar dengan memberlakukan sistem kerja paksa. Untuk Belanda
memang sesuatu yang menguntungkan, namun untuk rakyat di beberapa tempat akibat
langsungnya merupakan bencana. Jawa menjadi satu perkebunan yang besar, dan
kaum elit tradisional Jawa ikut memperoleh keuntungan besar. Oleh karena
melayani Belanda, maka kaum elit ini terasing dari rakyat. Akibatnya menjadi
nyata ketika muncul pemimpin-pemimpin baru dari jenis yang berbeda. Mereka
bukan saja sama sekali tidak mau bekerjasama dengan pemerintahan kolonial, tetapi
mereka juga melawan kekuasaan dari kaum elit lama.
Sumber:
Dr. Th. Stevens, dalam bukunya "Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962. Diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Dr. Th. Stevens, dalam bukunya "Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962. Diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar