Sebuah keluarga Belanda berfoto bersama sajian Rijsttafel, 1920
Keluarga C.H. Japing bersama Bibi Jet dan Paman Jan Breeman dalam
sebuah acara Rijsttafel, Mei 1936
Contoh sajian Rijsttafel dalam sebuah keluarga Belanda, 1880-an
Oleh: Naufal Harits
Jika berbicara mengenai kuliner pada masa Nederlands-Indie rasanya kurang lengkap tanpa membicarakan sebuah penyajian makanan yang satu ini. Dapat dikatakan penyajian makanan ini adalah sesuatu yang tidak biasa namun menarik pada masa itu. Bagaimana tidak, makanan yang disajikan adalah makanan Indonesia tetapi yang menyantapnya adalah orang-orang Belanda. Penyajian kuliner Indonesia sebagai santapan orang Belanda ini dinamakan dinamakan Rijsttafel.
Di Indonesia, kini Rijsttafel sulit untuk dijumpai. Justru di Belanda, Rijsttafel sering ditemukan di berbagai rumah makan.
Rijsttafel merupakan istilah dari bahasa Belanda yang artinya "meja nasi". Rijsttafel adalah cara penyajian makanan secara berurutan dengan berbagai pilihan kuliner khas Nusantara. Cara penyajian semacam ini berkembang pada masa Nederlands-Indie dengan cara memadukan tata perjamuan resmi ala Eropa dengan kebiasaan
makanan penduduk lokal Nederlands-Indie yang mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok.
makanan penduduk lokal Nederlands-Indie yang mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok.
Rijsttafel sebenarnya adalah konsep penyajian makanan lengkap dengan standar Eropa, yang diawali dengan makanan pembuka, lalu kemudian makanan utama, yang diakhiri dengan makanan penutup.
Adapun beberapa makanan yang disajikan adalah Nasi, Ayam Besengek, Sambal Goreng Ati, Gulai Daging, aneka Sate, aneka Acar, Sambal dan Kerupuk. Jumlahnya beragam mulai dari sekitar 10 jenis, bahkan bisa sampai 40 jenis hidangan. Terkadang makanan khas Tionghoa Indonesia seperti lumpia dan bakmi, ataupun makanan yang masih dipengaruhi Eropa seperti semur daging.
Pada
masa kolonial, versi jamuan resmi rijsttafel paling mewah terdiri atas iring-iringan
para pelayan berbusana resmi (kain kebaya untuk pelayan wanita atau beskap,
blangkon, bersarung kain batik untuk pelayan pria), secara khidmat dan resmi
menyajikan belasan hingga puluhan piring berisi berbagai macam hidangan ke meja
makan di mana para tamu perjamuan duduk. Sajian pertama adalah nasi putih
kadang berbentuk tumpeng kecil di sajikan di piring tamu, kemudian
satu per satu pelayan datang membawa beraneka macam hidangan yang terdiri atas
lauk-pauk, sayuran, gorengan, sambal dan kerupuk. Hidangan ini ditawarkan dan
disajikan kepada para tamu perjamuan yang mengambil sendiri hidangan ini dari
piring yang dibawa pelayan. Iring-iringan pelayan ini datang silih berganti
membawa aneka hidangan. Versi penyajian yang lain hanya menyajikan nasi putih
di tengah, dikelilingi piring-piring berisi aneka hidangan, mirip dengan sajian
prasmanan masa kini.
Namun
seiring dengan kepergian Belanda dari Indonesia setelah perang kemerdekaan,
penyajian makanan secara rijsttafel mulai hilang. Walaupun begitu, sajian ini
tetap populer di kalangan keluarga Belanda yang memiliki akar keluarga kolonial
Hindia Belanda.
Meski
populer di Belanda dan luar negeri, rijsttafel jarang ditemukan di
Indonesia. Hal ini mungkin karena kebanyakan hidangan Indonesia terdiri dari satu
atau dua macam lauk-pauk sebagai pelengkap nasi (ikan, ayam, daging, telur
ayam, atau sumber protein lainnya), sayur (baik disajikan mentah, tumisan, atau
sup) serta hidangan pelengkap lain seperti sambal, acar, atau kerupuk.
Mengkonsumsi makanan lebih dari jumlah yang lazim tersebut dapat dianggap
berlebihan, terlalu mewah, mahal dan boros. Patut dicatat bahwa jumlah makanan
yang dihidangkan dalam rijsttafel berkisar antara 7 hingga 40 jenis
makanan. Versi paling dekat dengan hidangan jenis ini dapat ditemukan pada
hidangan lokal nasi padang dan nasi campur. Salah satu restoran yang masih
bertahan menyajikan rijsttafel otentik adalah Restoran Oasis
di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar