Selain aktif di bidang pendidikan, Jami’at Kheir
juga bergerak di bidang sosial kemasyarakatan dan mempunyai kepedulian yang
tinggi akan nasib orang-orang Islam di berbagai belahan dunia. Pada tahun 1912,
Jami’at Kheir menyelenggarakan upacara bela sungkawa atas gugur dan syahidnya
para pejuang Tripoli Barat dalam pertempuran melawan tentara penjajahan Italia.
Jami’at Kheir pun mengumpulkan bantuan yang akan ditujukan kepada anak-anak
para pejuang di sana. Bantuan ini juga ditujukan untuk daerah-daerah lain yang
terkena bencana alam, serta untuk pembangunan kereta api di Hijaz (kini masuk
wilayah Arab Saudi).
Karena aktivitas tersebut, Jami’at Kheir dan
nama baiknya pun tersebar di dalam Nederlands-Indie bahkan hingga dunia
internasional. Dalam Nederlands-Indie, Jami’at Kheir mengusahakan melakukan
jalinan perdamaian di antara orang-orang Arab dan menyelesaikan pertikaian
berdarah yang pernah terjadi di Jawa Timur.
Tidak semua langkah Jami’at Kheir direstui oleh
pemerintah Nederlands-Indie. Beberapa pengurusnya dihadapkan ke pengadilan, di
antara mereka
ada yang dijebloskan ke penjara karena terkesan melawan pemerintah Nederlands-Indie.
ada yang dijebloskan ke penjara karena terkesan melawan pemerintah Nederlands-Indie.
Pada tahun 1913, Jami’at Kheir mendirikan
percetakan dan perpustakaan dengan biaya mandiri para pengurusnya, di luar kas
organisasi. Percetakan tersebut pada tahap pertama mendapatkan modal (yang
dalam hitungan uangnya pada masa itu jika dijumlahkan dengan menggunakan rupiah) Rp50.000. Modal ini dihimpun dari
para anggotanya. Pada 24 Juli 1924, As-Sayyid Abdurrahman bin Alwi bin Muhammad
Asy-Syathiri terpilih sebagai ketua. Jami’at Kheir terus berkembang. Beberapa
buku berbahasa Belanda maupun Indonesia, majalah terbitan dalam maupun luar
Nederlands-Indie, selalu dijumpai artikel tentang Jami’at Kheir.
Al-Alamah al-Habib Hasan bin Alwi bin Abdullah
Syahabuddin adalah orang yang juga berjasa atas dikenalnya nama Jami’at Kheir
hingga ke luar Nederlands-Indie. Lahir di Tarim, Hadramaut, pada tahun 1848.
Ada banyak guru tempatnya menimba ilmu, di antaranya adalah As-Sayyid Muhammad
bin Ibrahim bin Idrus Bilfaqih, As-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein
Al-Masyhur, As-Sayyid Idrus bin Umar Bafaraj, Sayyid Ahmad Dahlan (Makkah), dan
As-Sayyid Salim bin Ahmad Al-Aththas (Johor, Malaya).
Belakangan, beliau pergi ke Singapura untuk
mengurus kekayaan ayahnya, dan sempat menetap di sana. Di sana, ia meneruskan
bisnis sang ayah. Tak lama kemudian, ia pergi ke Nederlands-Indie dan bermukim
di Batavia hingga 1900. Ia banyak memberikan sumbangan, baik itu berupa dana
maupun artikel-artikel tentang Jami’at Kheir yang banyak dimuat di beberapa
koran terbitan Mesir.
Sumber:
Majalah ALKISAH No. 13/Tahun IV/19 Juni – 2 Juli
2006
Abdurrahman asy syathiri adalah kakek buyut saya...setidaknya itu yang disampaikan alm. Ayah saya M. Saleh Ridho bin Ali Ridho bin Abdurrahman Asy Syathiri
BalasHapus