Seorang agen PID/ARD (Politieke Inlichtingen Dienst/Algemene Recherche Dienst)
menyerahkan sebuah buku kepada seorang pejabat Ambtenaren Nederlands-Indie
yang berisi daftar nama-nama orang yang dicurigai
sebagai aktivis pergerakan nasional yang dianggap berbahaya. Di sebelah kanan,
berdiri sseorang pegawai lokal sang pejabat Ambtenaren. Tanpa mereka ketahui,
si pegawai ini ternyata adalah anggota pergerakan nasional yang luput dari pengamatan PID/ARD (ilustrasi)
Begitu dicurigai, si pegawai lokal itu segera melarikan diri.
Maka para agen PID/ARD pun memburunya. Namun agen-agen PID/ARD berhasil
menemukan dan mengikutinya (ilustrasi)
Dua agen PID/ARD akhirnya berhasil menyergap si pegawai lokal tersebut
begitu tiba di stasiun (ilustrasi)
Interogasi pun dilakukan. Agen-agen PID/ARD menggunakan berbagai cara
agar informasi yang dicari bisa didapatkan (ilustrasi)
Politieke Inlichtingen Dienst, atau lebih dikenal dengan singkatan PID adalah lembaga polisi rahasia yang bertugas untuk memata-matai kaum pergerakan nasional di masa pemerintahan Nederlands-Indie (Hindia-Belanda). Semua informasi yang dikumpulkan oleh PID terkait kondisi pergerakan nasional di Indonesia nantinya dijadikan dasar pemerintah kolonial untuk mengambil tindakan terhadap kaum pergerakan nasional.
Awalnya, lembaga ini didirikan pada 6 Mei 1916. Saat itu
Perang Dunia I sedang berkecamuk. Gagasan awalnya muncul pada
1914 dengan nama Kantoor Inlichtingen (Kantor Informasi) di bawah komando Koninklijk Nederlands-Indisch Leger
(KNIL), tentara Hindia-Belanda. Organisasi ini bertujuan mendapatkan
sebanyak mungkin
informasi tentang aktivitas agen Jepang di Hindia Belanda. Namun, dibandingkan Kantoor Inlichtingen, tugas PID lebih luas karena tidak hanya mengawasi ancaman dari luar juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga keamanan Hindia-Belanda dari ancaman dalam negeri, khususnya gerakan radikal pribumi.
informasi tentang aktivitas agen Jepang di Hindia Belanda. Namun, dibandingkan Kantoor Inlichtingen, tugas PID lebih luas karena tidak hanya mengawasi ancaman dari luar juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga keamanan Hindia-Belanda dari ancaman dalam negeri, khususnya gerakan radikal pribumi.
Selanjutnya PID berubah nama menjadi Algemene Recherche Dienst
(ARD-Dinas Reserse Umum) pada 24 September 1919 setelah sebelumnya PID
sempat dibubarkan pada 2 April 1919. Meskipun demikian di
kalangan para pegiat pergerakan dan pers, mereka lebih mengenal nama "angker" PID dibandingkan ARD.
Di bawah lembaga kepolisian, pemerintah Hindia-Belanda menggunakan dinas
intelijen politik untuk menangani segala kegiatan yang dirasa mengancam
legitimasi pemerintah dan gangguan ketertiban umum. Secara struktural,
ARD berada dalam wilayah kerja kepolisian di bawah yurisdiksi Jaksa
Agung. Semua informasi yang diperoleh ARD menjadi landasan bagi Jaksa
Agung untuk melakukan tindakan. Dalam Geschiedenis van de Politie in Nederlands-Indië. Uit Zorg en Angst (2009), Bloembergen menuliskan bahwa H.V. Monsanto, advokat-generaal (wakil Jaksa Agung) melihat
pentingnya dibentuk ARD berkaitan dengan pemberlakuan
perundang-undangan baru yang liberal tentang hak untuk berkumpul dan
berserikat.
Dinas intelijen politik memiliki cabang di kota-kota besar di Jawa,
seperti Batavia, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Setiap kota memiliki
nama yang berbeda. Di Batavia, disebut dengan Politieke Recherche, di Bandung dikenal Afdeeling Vreemdelingen en Inlichtingendienst, di Semarang dan Surabaya bernama Politieke Inlichtingen Dienst. Setelah reorganisasi polisi pada 1919, selain dibentuk ARD, dibentuk pula Gewestelijke Recherche (reserse wilayah),
dinas investigasi tingkat daerah yang bertugas melakukan penyelidikan
kegiatan politik di daerah-daerah, terutama di Jawa dan Madura. Hal menarik adalah para anggota ARD yang berasal dari kalangan pribumi.
Mereka berbeda dengan anggota kepolisian lainnya yang memakai seragam.
Para anggota dinas intelijen justru mengenakan pakaian sipil, seperti
orang biasa. Dalam hal kepangkatan, mereka mengambilnya dari Pangreh
Praja, seperti Wedana dan Asisten Wedana. Mereka memiliki bawahan dengan
pangkat Mantri Polisi. Di bawah Mantri Polisi terdapat agent (agen). Selain agen, ada pula informan-informan lepas yang lebih dikenal dengan spionnen (mata-mata).
Mereka lah yang memasok informasi untuk ARD. Mata-mata merupakan tenaga
lepas dan dibayar sesuai dengan informasi yang diberikan. Biasanya
mereka direkrut dari kalangan bawah dan bahkan kalangan preman. Oleh karena para agen tersebut kerap hadir dalam rapat-rapat dan
pertemuan-pertemuan politik, maka para agen yang kehadirannya membuat
jengkel para peserta rapat, mendapat julukan dwarskijker alias tukang intip yang menganggu.
Beberapa tugas PID, antara lain: memeriksa kaum pergerakan nasional
yang baru pulang dari luar negeri, menyita majalah-majalah yang dianggap
mengganggu ketertiban umum, menangkap tokoh-tokoh pergerakan nasional
bila pemerintah kolonial telah membuat surat perintah penangkapan,
menginterupsi tokoh-tokoh pergerakan yang menyampaikan pidato mereka
pada rapat akbar partai dan dianggap mengganggu ketertiban umum,
serta membubarkan rapat partai bila polisi PID menilai kalau rapat
partai tersebut akan menimbulkan gangguan bagi ketertiban umum.
Salah satu peristiwa menarik
yang berkaitan dengan tugas PID tadi adalah peristiwa pidato Soekarno pada rapat
umum Partai Nasional Indonesia (PNI) pada akhir tahun 1928.
Pidato Soekarno dengan teori-teori muluk yang disampaikan secara
sederhana dengan permainan kata dan secara bersemangat
terkadang menimbulkan ketegangan di antara para hadirin dalam rapat.
Itulah sebabnya PID selalu menjaganya dengan ketat. Ketegangan sudah
mulai tampak sejak Soekarno dan pemimpin-pemimpin lainnya memasuki
ruangan rapat. Semua yang hadir serentak bertepuk tangan dan
bersorak-sorak menyambut pemimpin mereka, kecuali PID. Pada saat
lagu kebangsaan didengungkan, semua hadirin berdiri kecuali PID yang
tetap duduk dan tidak mau menghormati lagu kebangsaan tersebut. Pada
saat Soekarno berpidato, polisi PID beberapa kali menegurnya, tetapi
tiap teguran selalu disambut dengan protes oleh hadirin. Bila ketegangan
antara PID dan anggota rapat memuncak, biasanya PID membubarkan rapat
tersebut.
Hal ini berlaku pula pada
rapat-rapat umum yang diselenggarakan oleh organisasi Sarekat Islam
(SI), Perhimpunan Indonesia (PI), Partai Indonesia (Partindo),
dan organisasi-organisasi pergerakan yang bersikap radikal terhadap
pemerintah Hindia Belanda. Itulah sebabnya kaum pergerakan nasional
sangat membenci PID. Pada masa pemerintah Jepang, banyak anggota
polisi PID yang menjadi Kempetai.
Dalam beberapa surat kabar sezaman dapat diketahui
kegiatan-kegiatan PID yang semakin meningkat. Selain melakukan
pengawasan terhadap kaum komunis berkaitan dengan kerusuhan yang terjadi
di Eropa, PID menjalin kerjasama yang lebih erat dan baik dengan Militaire Inlichtingen Dienst- Dinas Informasi Militer (Soerabaijasch Nieuwsblad, 13/8/1936), pengawasan juga diterapkan pada organisasi-organisasi dan orang-orang yang dicurigai seperti Vereeniging van Jong- Arabieren Alkateria yang belakangan tidak terbukti (Indische Courant, 19/10/1936), atau penyelidikan PID terhadap Vereniging Sasa Asma di Kutoarjo yang melakukan mogok di Magelang dan Brebes (Sumatra Post,
21/4/1939). Dalam acara perayaan Garebeg Besar di Surabaya, PID
sempat memberikan peringatan kepada dua pembicara yang hendak pidato
tentang politik (Het Vaderland, 13/8/1936).
Tidak hanya terhadap aktivitas kaum pergerakan, PID juga mengawasi
barang-barang cetakan yang dianggap membahayakan pemerintah kolonial
seperti buku Blut und Ehre karya dari penulis nasionalis-sosialis Alferd Rosenberg (Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28/3/1938). PID juga menyita surat kabar Keng Po yang menerbitkan nomor khusus "Lu Kou Chiao" sehubungan dengan peringatan terhadap serangan Jepang di China (Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 8/7/1937).
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar