Rabu, 05 November 2014

Geger Pacinan/Chinezenmoord, Peristiwa Kelam Orang-Orang Cina di Batavia (Bagian 1)

Ilustrasi peristiwa Geger Pacinan/Chinezenmoord di Batavia, 9-22 Oktober 1740


Perstiwa berdarah yang hampir terlupakan itu menimbulkan perlawanan orang-orang Tionghoa di seantero Jawa terhadap kebrutalan yang dilakukan VOC...

"Setiap tempat bersimbah darah dan kanal-kanal dipenuhi dengan mayat-mayat. Sebagian besar kota diselimuti abu dan lima ribu warga Tionghoa yang terkenal rajin dan penuh pengabdian itu telah tewas."

Batavia. Kota ini hanyalah satu dari sekian kota yang tentunya membutuhkan warga yang menghidupkan kegiatan perekonomian. Salah satu komunitas perintis yang bermukim di dalam tembok kota Batavia adalah masyarakat Tionghoa yang kelak menjadi cikal bakal budaya peranakan di kota itu. Untuk mengatur komunitas yang satu ini, VOC menunjuk seorang kapitan pertama pada awal abad ke-17.


Pada periode awal kolonialisasi Nederlands-Indie oleh Belanda, ada banyak orang Tionghoa yang dijadikan tukang dalam pembangunan kota Batavia. Tidak hanya itu, mereka juga bertugas sebagai pedagang, buruh pabrik gula, dan pemilik toko. Perdagangan Nederlands-Indie dengan Tiongkok yang berpusat di Batavia, menimbulkan
imigrasi besar orang Tionghoa ke Jawa dan kuatnya perekonomian.

Populasi orang Tionghoa pun mengalami peningkatan. Pada tahun 1740, telah ada 10.000 orang Tionghoa di Batavia. Ribuan lagi tinggal di luar batas kota. Pemerintah Nederlands-Indie akhirnya mewajibkan mereka untuk membawa surat identifikasi. Dan, bagi mereka yang tidak membawa surat tersebut akan dipulangkan kembali ke Tiongkok.

Kebijakan deportasi ini diketatkan pada awal 1730-an setelah merebaknya epidemik malaria yang membunuh ribuan orang termasuk Gubernur Jenderal Dirk van Cloon. Benny G. Setiono (sejarawan Indonesia) mengatakan, epidemik malaria ini diikuti oleh dendam dan rasa curiga yang meningkat terhadap etnis Tionghoa. Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier memerintahkan Roy Ferdinand (Komisaris Urusan Orang Pribumi) untuk memutuskan pada tanggal 25 Juli 1740. Keputusan itu tidak lain adalah perintah untuk mendeportasi orang-orang Tionghoa yang dianggap mencurigakan ke Zeyland (Sri Lanka), untuk kemudian dijadikan pekerja tanam paksa kayu manis. Orang-orang Tionghoa yang kaya menjadi sasaran pemerasan penguasa, yang mengancam mereka dengan deportasi. Sir Thomas Stamford Raffles (penjelajah Inggris) mencatat bahwa orang-orang Belanda diberi tahu oleh Kapitan Tionghoa untuk Batavia, Nie Ho Kong agar mendeportasi orang-orang Tionghoa yang berpakaian biru dan hitam. Karena, mereka adalah orang-orang miskin.

Desas-desus pun timbul terkait kebijakan deportasi ini. Dikatakan bahwa mereka yang dideportasi tidak benar-benar sampai di Zeylan, melainkan dibunuh dengan cara diceburkan ke laut lepas. Desas-desus lain mengatakan mereka yang dideportasi itu mati karena membuat kerusuhan di kapal. Masyarakat Tionghoa di Batavia pun menjadi resah. Para buruh Tionghoa akhirnya banyak yang meninggalkan pekerjaan mereka.

Sementara itu, kecurigaan etnis-etnis yang lain terhadap etnis Tionghoa semakin besar. Dalam masalah ekonomi saja, membuat orang-orang miskin pribumi beranggapan bahwa orang-orang Tionghoa tinggal di daerah-daerah terkemuka dan sejahtera. Kenyataannya malah tidak demikian. Ada banyak orang-orang miskin Tionghoa yang tinggal di sekitar Batavia, yang merasa dimanfaatkan oleh para pembesar Belanda dan Tionghoa sendiri. Orang Tionghoa yang kaya memiliki pabrik dan menjadi semakin lebih kaya berkat perdagangan yang mereka urus: produksi dan distribusi arak (minuman keras yang terbuat dari molase dan beras).


Keresahan semakin bertambah dengan persoalan harga gula yang selalu ditentukan oleh penguasa Belanda. Dikarenakan penurunan harga gula dunia sebagai konsekuensi dari meningkatnya jumlah ekspor ke Eropa, industri gula di Nederlands-Indie pun merugi. Hingga di tahun 1740, harga gula di pasar dunia hanya separuh dari harga di tahun 1720. Nederlands-Indie menanggung kesulitan finansial karena gula merupakan salah satu ekspor utama wilayah tersebut.


Beberapa anggota dewan Raad van Indie (Dewan Hindia) pada awalnya beranggapan bahwatidak mungkin orang-orang Tionghoa menyerang Batavia. Kebijakan untuk mengatur lebih tegas orang Tionghoa ditentang oleh fraksi yang dipimpin oleh mantan gubernur Zeylan yang datang ke Batavia, Willem Baron van Imhoff pada tahun 1738. Keadaan semakin gawat, terbukti dengan orang-orang keturunan Tionghoa yang tiba dari berbagai tempat dan berada di luar batas kota Batavia. Pada tanggal 26 September, Adriaan Valckenier memanggil para anggota dewan dalam pertemuan darurat. Ia memerintahkan agar kerusuhan yang dipicu oleh orang-orang Tionghoa dapat ditumpas dengan mematikan. Hal ini pun serta merta ditentang oleh fraksi van Imhoff.


Pada malam hari tanggal 1 Oktober, Valckenier menerima laporan bahwa di luar gerbang kota Batavia telah berkumpul ribuan orang Tionghoa. Kedatangan mereka dipicu oleh pernyataan Valckenier lima hari sebelumnya pada pertemuan dengan Raad van Indie. Valckenier dan anggota Raad van Indie tidak percaya. Akan tetapi, setelah terjadi pembunuhan seorang sersan keturunan Bali oleh orang-orang Tionghoa, baru diputuskan untuk bertindak menambah jumlah pasukan untuk menjaga kota. Dibentuklah dua kelompok yang terdiri dari 50 orang Eropa dan beberapa kuli pribumi, yang kemudian dikirim ke pos penjagaan di sebelah selatan dan timur Batavia. Rencana penyerangan pun dibuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar