Selasa, 17 Maret 2015

Geger Pacinan/Chinezenmoord, Peristiwa Kelam Orang-Orang Cina di Batavia (Bagian 2)



Di Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan Tanah Abang tanggal 7 Oktober, sebanyak 50 pasukan Belanda dibunuh oleh ratusan orang Tionghoa yang diduga dipimpin oleh Kapitan Cina Nie Ho Kong. Itu terjadi setelah berbagai kelompok buruh Tionghoa memberontak dengan senjata yang mereka buat sendiri untuk menjarah dan membakar pabrik. Serangan ini mengejutkan Belanda. Sebanyak 1.800 pasukan yang didukung schuterij (milisi) dan sebelas batalyon wajib militer dikirim untuk menghentikan pemberontakan. Mereka melaksanakan jam malam dan semua perayaan Tionghoa yang telah dijadwalkan pun dibatalkan. Khawatir akan adanya orang Tionghoa yang berkomplot di malam hari, mereka (orang Tionghoa) yang tinggal di dalam batas kota dilarang menyalakan lilin dan diperintahkan untuk menyerahkan semua barang, sekalipun itu pisau kecil.


Hari berikutnya, pasukan Belanda berhasil menangkis sebuah serangan yang dilakukan oleh 10.000 orang Tionghoa yang datang dari Tangerang dan Bekasi di tembok kota. Raffles mencatat sebanyak 1.789 warga Tionghoa meninggal dalam serangan ini. Pada tanggal 9 Oktober, Valckenier pun kembali mengadakan pertemuan Raad van Indie.


Sebuah gosip mulai tersebar dalam kelompok etnis lain, utamanya budak dari Bali dan Sulawesi serta pasukan Bugis dan Bali. Dikatakan bahwa
orang-orang Tionghoa berencana berusaha membunuh atau memperkosa orang pribumi, atau menjadikan mereka sebagai budak. Mereka pun melancarkan aksi mendahului dengan menyerang dan membakar rumah-rumah orang Tionghoa di sepanjang Kali Besar, disusul oleh serangan Belanda terhadap tempat tinggal orang Tionghoa di Batavia. WR. van Hoevell (politikus Belanda yang anti kolonis) menulis:


"Wanita hamil dan yang sedang menyusui, anak kecil, dan para pria gaek jatuh dalam serangan. Tahanan dibantai seperti domba."


Pasukan Belanda mengambil posisi di daerah pecinan. Mereka dipecah menjadi dua kelompok: Kelompok pertama yang dipimpin oleh Letnan Hermanus van Suchtelen mengambil posisi di pasar burung, sementara kelompok kedua yang dipimpin oleh Kapten Jan van Oosten (seorang serdadu Belanda yang selamat dari serangan orang Tionghoa di Tanah Abang) mengambil posisi dekat kanal. Pasukan Belanda mulai menembakkan meriam ke rumah-rumah orang Tionghoa sekitar pukul 17.00 sore. Akibatnya, beberapa orang Tionghoa tewas di rumah mereka. Sementara yang lainnya ditembak saat keluar dari rumah atau melakukan bunuh diri. Mereka yang mencoba menyelamatkan diri dengan mencapai kanal dibunuh oleh pasukan Belanda yang telah menunggu di perahu-perahu kecil. Tidak berhenti sampai disitu, pasukan Belanda yang lain mondar-mandir di antara rumah-rumah yang sudah terbakar untuk membunuh orang Tionghoa yang masih hidup. Tindakan ini akhirnya menyebar ke seluruh Batavia.


Kekerasan ini terus menyebar di hari berikutnya. Sedemikian kejamnya, sampai-sampai orang-orang Tionghoa yang terluka di sebuah rumah sakit dikeluarkan dan dibunuh. Kebakaran di daerah Kali Besar semakin ganas dan belum berhasil dipadamkan. Usaha pemadaman baru berhasil pada tanggal 12 Oktober.

Sementara itu, 800 pasukan Belanda yang didukung dengan 2.000 orang pribumi menyerang Kampung Gading Melati. Di kampung itu, bersembunyi orang-orang Tionghoa di bawah pimpinan Khe Pandjang. Warga Tionghoa pun mengungsi ke daerah Paninggaran, namun tetap saja diusir oleh pasukan Belanda. Sekitar 450 pasukan Belanda dan 800 orang Tionghoa menjadi korban dalam serangan tersebut.


Pada tanggal 11 Oktober, Valckenier memerintahkan para opsir Belanda untuk menghentikan penjarahan, namun tidak berhasil. Raad van Indie mengumumkan dua hari kemudian, bahwa bagi setiap orang yang membawa kepala orang Tionghoa, akan dihargai dengan dua ducat. Ini tentu saja memancing etnis lain untuk terus membunuhi orang-orang Tionghoa. Orang Tionghoa yang selamat dari malapetaka awal tadi kini harus segera menyelamatkan diri dari mereka (yang tergiur oleh sayembara dari Raad van Indie) yang berusaha mendapatkan kepala mereka.

Di Batavia, penguasa Belanda bekerjasama dengan kelompok-kelompok pribumi. Pada tanggal 14 Oktober, Greanadier Bugis dan Bali dikirim untuk memperkuat pasukan Belanda. Pada tanggal 22 Oktober, Valckenier memerintahkan agar pembantaian dihentikan. Sehelai surat panjang dibuat, yang isinya menimpakan seluruh kesalahan pada orang-orang Tionghoa. Dalam surat itu pula, Valckenier mengajak untuk berdamai. Namun, ia membuat pengecualian pada pemimpin pemberontakan. Dia memberikan penghargaan sebanyak 500 Rijksdaalder untuk setiap pemimpin yang dibunuh.

Pertempuran kecil di luar batas kota masih berlanjut. Pada tanggal 25 Oktober, 500 orang Tionghoa bersenjata berangkat menuju Cadouwang (kini Angke), setelah adanya pertempuran kecil selama hampir dua minggu. Tetapi mereka dihalau oleh kavaleri Belanda di bawah pimpinan Ridmeester Christoffel Moll serta Kornet Daniel Chits dan Pieter Donker. Pada hari berikutnya kavaleri itu mendekati Pabrik Gula Salapadjang, yang menjadi markas orang Tionghoa. Mereka berkumpul di hutan kemudian membakar pabrik tersebut, di saat masih penuh dengan para pemberontak Tionghoa. Pasukan Belanda yang lain memusnahkan satu pabrik di Bodjong Renje. Orang-orang Tionghoa pun mengungsi ke pabrik gula lainnya di Kampung Melayu (sekitar empat jam dari Salapadjang. Markas ini pun juga dimusnahkan oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Jan George Crummel. Pasukan Belanda kembali ke Batavia setelah mengalahkan orang-orang Tionghoa. Sementara itu, orang-orang Tionghoa yang mulai dikurung 3.000 prajurit dari Kesultanan Banten, melarikan diri ke arah timur dengan menyusuri pesisir utara Jawa. Pada tanggal 30 Oktober, orang-orang Tionghoa tersebut dilaporkan sudah melewati Tangerang.

Pada tanggal 2 November, Crummel menerima perintah untuk gencatan senjata. Dia kembali ke Batavia. Sebelumnya, ia telah menempatkan 50 penjaga di Cadouwang. Sudah tidak ada lagi pemberontak Tionghoa yang berkeliaran di luar tembok kota ketika dia kembali ke Batavia. Penjarahan masih berlangsung hingga 28 November. Pasukan pribumi terakhir dibebastugaskan pada akhir bulan itu.

Hasil dan Pengaruhnya

Jumlah korban dan kerugian akibat perstiwa ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan sejarawan. Sebagian besar sejarawan mencatat, ada 10.000 orang Tionghoa yang berada di dalam batas kota Batavia yang mati dibunuh dan 500 orang luka berat. Ditambah dengan 600 atau 700 rumah milik mereka yang dijarah dan dibakar.

Vermeulen mencatat ada 600 orangTionghoa yang selamat. Sementara sejarawan Indonesia A.R.T. Kemasang mencatat 3.000 orang yang selamat. Benny G. Setiono (sejarawan Tionghoa-Indonesia) mencatat 500 orang dan pasien rumah sakit dibunuh, dengan 3.141 orang yang selamat. Pembantaian ini disusul pula dengan periode yang rawan pembantaian terhadap orang Tionghoa di seluruh Jawa, seperti pembantaian yang terjadi di Semarang tahun 1741 serta berbagai pembantaian lainnya di Surabaya dan Gresik.

Kekerasan tersebut dicoba untuk diakhiri, yang salah satu syaratnya itu dinyatakan bahwa orang Tionghoa dipindahkan ke suatu pecinan yang berada di luar batas kota. Pecinan itu kemudian terkenal dengan nama Glodok. Dengan salah satu syarat ini, Belanda semakin mudah untuk mengawasi mereka. Bagi mereka yang akan meninggalkan pecinan, dibutuhkan tiket khusus. Hingga tahun 1743, telah ada ratusan pedagang Tionghoa yang bertempat di dalam kota Batavia. Sementara itu, orang Tionghoa yang lain di bawah pimpinan Khe Pandjang mengungsi ke Jawa Tengah. Di sana, mereka melakukan penyerangan ke berbagai pos perdagangan VOC dan bergabung dengan pasukan di bawah pimpinan Pakubuwana II (Sultan Mataram). Perang ini usai pada tahun 1743. Namun, selama 17 tahun berikutnya terjadi konflik secara terus-menerus di Jawa.

Van Imhoff dan dua anggota Raad van Indie lainnya ditangkap atas dasar pembangkangan pada tanggal 6 Desember 1740, untuk kemudian dikirim ke Belanda pada tanggal 13 Januari 1741. Pada tanggal 19 September 1741, mereka tiba di sana. Setibanya di sana, van Imhoff meyakinkan ulah Valckenier yang menyebabkan terjadinya perstiwa berdarah tersebut pada Heeren XVII (pemegang saham utama VOC). Sebuah pidato juga ia sampaikan dengan judul "Consideratien over den Tegenwoordigen Staat van de Ned. O.I. Comp" (Pertimbangan atas Keadaan Mutakhir di Nederlands-Indie. Atas pidatonya tersebut, van Imhoff dibebaskan beserta anggota Raad van Indie yang lainnya. Pada tanggal 27 Oktober 1742, van Imhoff dikirim kembali ke Batavia dengan menggunakan kapal Hersteller. Ia tiba di sana pada tanggal 26 Mei 1743 dan menjabat sebagai Gubernur Jenderal Nederlands-Indie yang baru.

Pada akhir tahun 1740, Valckenier sudah meminta digantikan. Pada Februari 1741, ia menerima surat yang memerintahkan untuk mengangkat van Imhoff sebagai pengganti. Versi lain mengatakan bahwa Heeren XVII mengganti Valckenier sebagai hukuman akibat kerugian yang diterima VOC pada tahun 1739 atas ekspor gula yang terlalu banyak daripada kopi. Van Imhoff sudah dalam perjalanan ke Belanda ketika Valckenier menerima surat tersebut. Ia memilih Johannes Thedens sebagai pengganti sementara hingga van Imhoff kembali, kemudian meninggalkan Batavia pada tanggal 6 November 1941. Ia mendarat di Cape Town pada tanggal 25 Januari 1742. Disana ia ditangkap dan diselidiki oleh Gubernur Hendrik Swellengrebel atas perintah Heeren XVII. Valckenier dikirim kembali ke Batavia pada bulan Agustus 1742 dan dipenjarakan dalam Fort Batavia. Ia digugat atas beberapa tuntutan, termasuk keterlibatannya dalam Chinezenmoord itu. Pada bulan Maret 1744, ia dinyatakan bersalah. Ia dituntut dengan hukuman mati dan penyitaan harta benda. Valckenier pun membuat pernyataan panjang untuk membela dirinya sampai kasus tersebut dibuka kembali pada Desember 1744. Ia meminta lebih banyak bukti dari Belanda atas tuntutan terhadapnya. Namun, sebelum penyelidikan selesai, Valckenier meninggal dunia di dalam kurungan pada tanggal 20 Juni 1751. Hukuman mati itu pun dibatalkan pada tahun 1755. Penyelidikan ini, oleh Vermeulen, dinilai tidak adil dan dipicu oleh masyarakat di Belanda. Hal ini mungkin diakui secara resmi, karena Adriaan Isaak Valckenier (putra Adriaan Valckenier) mendapatkan ganti rugi sebanyak 725.000 gulden pada tahun 1760.

Pembantaian ini berdampak pula terhadap produksi gula yang menurun, sebab orang-orang Tionghoa yang dahulu biasa mengurus industri tersebut terbunuh atau hilang. Di masa van Imhoff, industri itu mulai berkembang setelah gubernur jenderal ini melakukan “kolonisasi” atas Tangerang. Pada awalnya, ia ingin menempatkan orang Belanda agar bertani disana. Menurutnya, orang Belanda yang ada di Batavia adalah orang-orang malas. Namun ia mengalami kendala: pajak di Nederlands-Indie yang tinggi sehingga tidak memungkinkan untuk menarik orang baru. Maka ia terpaksa menjual tanah kepada orang Belanda yang ada di Batavia. Para pemilik tanah yang baru itu tidak berkenan untuk mengerjakan tanah tersebut, dan memilih untuk menyewakannya kepada orang-orang Tionghoa. Setelah itu, produksi mulai meningkat. Namun, pada dekade 1760-an produksi ada pada tingkat yang sama dengan produksi pada tahun 1740. Produksi pun mulai berkurang lagi setelah itu. Pabrik gula yang ada juga mulai berkurang. Jika pada tahun 1710 ada 131 pabrik gula yang berdiri, di tahun 1750 hanya tinggal 66 pabrik gula saja.

Vermeulen menyebut Chinezenmoord sebagai “salah satu perstiwa dalam kolonialisme Belanda pada abad ke-18 yang paling menonjol”. W.W. Dharmowijono dalam disertasinya menyatakan, bahwa pogrom ini mempunyai peran besar dalam sastra Belanda. Ia mencatat adanya sebuah puisi oleh Willem van Haren yang mengkritik pembantaian ini (dari tahun 1742) dan sebuah puisi anonym dari periode yang sama, yang isinya mengkritik orang-orang Tionghoa. Raffles menulis bahwa catatan historis Belanda itu "jauh dari lengkap atau memuaskan".

Leonard Blussé (sejarawan asal Belanda) menulis bahwa Geger Pecinan/Chinezenmoord ini secara tidak langsung membuat Kota Batavia berkembang pesat. Tetapi dikotomi antara etnis Tonghoa dan pribumi masih terasa hingga akhir abad ke-20. Di abad yang sama, perstiwa ini dicatat dalam Syair Hemop karya Abdur Rahman dalam bahasa Banjar. Beberapa nama tempat di Jakarta diyakini berasal dari pembantaian tersebut. Ada Tanah Abang yang berarti bahwa daerah itu dinamakan untuk darah orang Tionghoa yang dibunuh di sana (Tanah Abang = Tanah Merah = Tanah Darah). Van Hoevell berpendapat bahwa nama itu diajukan agar orang Tionghoa yang selamat dari pogrom itu lebih cepat menerima amnesti. Rawa Bangke mungkin diambil dari kata bangkai, karena jumlah orang Tionghoa yang dibantai di sana. Etimologi serupa juga diajukan untuk Angke, yang berada di Tambora, Jakarta Barat.


Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar