Jumat, 15 Agustus 2014

Cultuurstelsel, Ketika Kepentingan Mengalahkan Kemanusiaan

Johannes van den Bosch. Pernah menjadi salah satu Gubernur Jenderal
di Hindia Belanda. Hal yang paling terkenal darinya adalah ia sebagai pelopor Cultuurstelsel
yang menimbulkan pro dan kontra di negeri Belanda sendiri


Para pekerja tanam paksa Cultuurstelsel sedang memanen tebu
yang nantinya akan diproses menjadi gula batu dan gula pasir

Tanaman kopi sebagai salah satu produk Cultuurstelsel. Dari buahnya,
terciptalah salah satu minuman yang mendunia hingga saat ini

Teh sebagai salah satu produk Cultuurstelsel. Dari daunnya, salah satu minuman
yang tak kalah mendunia dari kopi tercipta

Tebu sebagai salah satu produk Cultuurstelsel. Dari air yang terkandung di dalamnya,
terciptalah gula batu dan gula pasir yang memaniskan namun tidak semanis
sejarah Cultuurstelsel yang pernah mengiringinya


Pagi ini, sebenarnya saya tidak berniat untuk kembali membuat entri baru di blog ini. Saat sedang menikmati secangkir teh, tiba-tiba saya langsung teringat sesuatu tentang minuman yang berasal dari daun teh ini pada masa lalunya di Hindia Belanda: dipasarkan karena Cultuurstelsel! Inspirasi dari secangkir teh pun datang, saya segera membuka-buka berbagai buku dan ebook sejarah koleksi saya. Dari sebuah buku yang sebenarnya bertema tentang sejarah Freemasonry/Vrijmetselarij di Hindia Belanda justru saya dapatkan info tentang Cultuurstelsel yang berdasarkan dari sudut pandang seorang
berkebangsaan Belanda dan salah satu "orang besar" Freemasonry itu sendiri. Ya, beliau adalah Dr. Th. Stevens sang penulis buku itu. Saya menilai bahwa ulasan mengenai Cultuurstelsel yang disinggung dalam buku itu (meski dari sudut pandang Belanda) adalah adil dengan penilaian masyarakat Indonesia. Saya pun menjadikan ulasannya sebagai entri baru blog sederhana saya ini.

Perdamaian di Eropa pulih setelah Perang Napoleon berakhir pada tahun 1815. Sebagian besar wilayah yang pernah direbut lnggris di kembalikan kepada Belanda. Untuk memperbaiki keadaan koloninya di Hindia Belanda, diangkat Komisi Jenderal yang bertujuan untuk memulihkan pemerintahan Belanda di wilayah itu. Pihak pemerintah di negeri induk ingin menerapkan kebijakan baru yang meninggalkan sistem budaya paksa yang lazim di masa pemerintahan VOC.

Pihak pemerintah Hindia Belanda diberi tugas menggariskan kebijakan yang lebih liberal-humanistis yang mulai berkembang saat itu. Timbul pendapat yang baru yang berpendapat bahwa pemerintah pusat (di Den Haag) berhak atas sebagian hasil usaha di Hindia Belanda, namun hal itu tidak boleh merugikan pendudul pribumi.

Dengan titik tolak itu tersentuhlah dilema moral tentang kolonialisme Belanda, yang sejak awal abad ke-19 dihadapi oleh pemerintah. Zaman kepentingan Belanda yang tak terbatas sudah berlalu seperti dinyatakan dalam peraturan pemerintah tahun 1818 (pasal 77), "Dalam memberlakukan pajak-pajak baru dan mengetrapkan pajak-pajak yang sudah ada, kepentingan negeri dan kenyamanan penduduk sebanyak mungkin harus diperhatikan. Semua pajak yang menyiksa dan memberatkan tidak diperbolehkan".

Bahwa kenyataan pada waktu Cultuurstelsel (undang-undang pembudidayaan tanaman), pada awal tahun-tahun 1830-1870 sangat bertolakbelakang dengan aturan sebenarnya, tidaklah mengurangi prinsip bahwa rakyat harus diperlakukan secara adil. Bertahun kemudian, pegawai negeri Eduard Douwes Dekker, berpegang pada jiwa pasal ini untuk membuka kedok pemerasan pemerintah kolonial terhadap penduduk di daerah Lebak. 

Di masa sebelum pemberlakuan Cultuurstelsel pada tahun 1830, pemerintah Hindia Belanda mulanya mengutamakan kepentingan rakyat. Pemerintah menjalankan garis haluan ekonomi-liberal yang tidak begitu menekan, namun kurang memberikan keuntungan kepada Belanda. Pemerintah pusat di negeri Belanda yang sedang bergumul dengan masalah keuangan tidak dapat menerima keadaan ini dan tidak lama kemudian timbullah perubahan kebijakan. Dalam usaha mencari berbagai sumber pemasukan yang baru, kelihatannya pemecahannya hanya dapat datang dari Hindia. Pecahnya pemberontakan di Belgia pada tahun 1830 dan pembiayaan tentara bertahun-tahun lamanya telah kian menipiskan keuangan kas negara yang sangat memberatkan. Pentingnya Hindia Belanda sekali lagi menjadi nyata.

Pihak pemerintah Belanda memutuskan untuk menjalankan suatu bentuk eksploitasi agraria yang sangat mirip dengan apa yang dilakukan pada zaman VOC, dan mulai saat itupun orang berbicara tentang Cultuurstelsel atau "sistem pembudidayaan tanaman yang diperkenalkan atas perintah penguasa tertinggi", Konsep ini dirancang oleh Van den Bosch yang menghasilkan jutaan gulden seperti telah diperkirakan semula dan Hindia Belanda sekali lagi menjadi milik yang sangat menguntungkan. Metode yang diterapkan menyebabkan penduduk hidup dalam keadaan setengah perbudakan. Mereka wajib menanam tanaman yang di paksakan pernerintah dalam jumlah yang makin lama makin besar. Sementara itu imbal jasa yang diperoleh penduduk sangat kecil. Kecerdikan cultuurstelsel itu terletak dalam cara memakai para pemegang kekuasaan tradisional, para kepala rakyat, yang dibayar dengan baik untuk jasa mereka. Dengan sistem paksaan ini, Jawa telah menghasilkan begitu banyak keuntungan untuk kepentingan Belanda, sehingga Jawa disebut juga pelampung yang menyelamatkan Nederland dari bahaya tenggelam.

Sekitar tahun 1865 sisa dari anggaran Hindia, yang disebut "laba tersisa" berjumlah kira-kira sama besarnya dengan sepertiga dari seluruh pemasukan kas Belanda. Pengeluaran untuk Hindia dipenggal sedemikian rupa, sehingga untuk 'memajukan' penduduk hampir-hampir tidak ada uang. Walaupun banyak kecaman, dan banyak orang sadar betapa tidak adilnya tekanan pajak yang begitu tinggi, hal-hal itu tidak berpengaruh terhadap kebijakan yang dijalankan.

Komunitas kolonial pada zaman cultuurstelsel bersifat birokratis. Ungkapan ''pada mulanya adalah pegawai negeri" betul-betul diterapkan. Hanya sedikit saja yang menjalankan profesi bebas, dan kedatangan orang-orang baru diamati dengan ketat. Di Jawa gerak bebas diba tasi, tidak ada kebebasan pers, begitu juga tidak ada kebebasan berhimpun ataupun mengadakan rapat. Yang ada hanyalah suatu komunitas yang dikekang, dengan jumlah warga yang sedikit, yang seakan dirancang untuk melayani kepentingan materiil negeri induk. Suasana untuk prakarsa pihak swasta dalam keadaan seperti itu tidak kondusif, dan kalau pun ada yang muIai dijalankan, maka kerja sama dengan pihak pemerintah mutlak djperlukan agar berhasil.

Yang dimaksudkan dengan istilah Hindia Belanda selama tujuh puluh lima tahun pertama abad ke-19 adalah Pulau Jawa. Produk-produk dari Jawa seperti kopi, gula, dan teh yang muncul di pasar dunia dan hanya di Jawa kepentingan Belanda terpusat. Pemerintahan kolonial hanya satu kali mengalami ujian berat, yaitu pada waktu berlangsungnya Perang Jawa (1825-1830), yangmemakan korban puluhan ribu orang, dan yang menancapkan di benak penduduk bahwa mereka tidak dapat melawan kekuasaan Belanda. Oleh karena cultuurstelsel membutuhkan perhatian penuh pemerintah di Batavia, maka pulau-pulau di luar Jawa tidak diganggu. Untuk wilayah-wilayah itu berlaku: semakin tidak didengar, semakin baik. Belanda tidak memiliki sumber keuangan maupun sumber daya manusia untuk melebarkan pengaruhnya ke sana. Keadaan ini baru berubah pada tahun 1870, suatu tahun yang dalam banyak hal menandakan penutupan suatu kurun waktu. 

Meninjau kembali periode itu, dapat dikatakan bahwa akhir hayat VOC telah timbul kesadaran bahwa rakyat berhak untuk diperlakukan secara adil. Ketika masalah keuangan negara menjadi terlalu berat untuk Pemerintah Belanda, pemerintah mencari jalan keluar dengan memberlakukan sistem kerja paksa. Untuk Belanda memang sesuatu yang menguntungkan, namun untuk rakyat di beberapa tempat akibat langsungnya merupakan bencana. Jawa menjadi satu perkebunan yang besar, dan kaum elit tradisional Jawa ikut memperoleh keuntungan besar. Oleh karena melayani Belanda, maka kaum elit ini terasing dari rakyat. Akibatnya menjadi nyata ketika muncul pemimpin-pemimpin baru dari jenis yang berbeda. Mereka bukan saja sama sekali tidak mau bekerjasama dengan pemerintahan kolonial, tetapi mereka juga melawan kekuasaan dari kaum elit lama.


Sumber:
Dr. Th. Stevens, dalam bukunya "Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962. Diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar