Jumat, 29 Agustus 2014

Stasiun Radio Malabar, Stasiun Radio Yang Hebat Pada Masa Jayanya

Stasiun Radio Malabar berdiri dengan kokoh. Bagi saya ini terlihat indah,
arsitektur gedung yang indah berpadu dengan posisinya di Puntang

Para pegawai dan segenap pimpinan
berfoto bersama di depan Stasiun Radio Malabar

Kompleks hunian para pegawai Stasiun Radio Malabar.
Dalam foto ini, Gubernur Jenderal Dirk Fock melintasi kompleks hunian tersebut
dengan mobil

Puing-puing dari gedung Staiun Radio Malabar. Stasiun radio yang besar
itu kini nyaris tak tersisa dan hanya meninggalkan puing-puing

Puing-puing dari kompleks hunian karyawan Stasiun Radio Malabar
yang dinamakan Radiodorf (Kampung Radio)

Tanda bukti peresmian Stasiun Radio Malabar oleh
Gubernur Jenderal Dirk Fock. Meski tanggal peresmian tertera, namun upacara peresmian
tidak dilakukan di tanggal itu juga


Stasiun Radio Malabar (Radiostasion Malabar) adalah stasiun radio pemancar yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda di Nederlands-Indie. Stasiun radio yang besar ini dibangun di daerah Gunung Puntang, yang merupakan bagian dari Pegunungan Malabar, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung. Stasiun radio inilah yang membuat Nederlands-Indie menjadi pusat perhatian dunia di tahun 1923. Dan, stasiun radio ini juga menjadi stasiun radio pemancar pertama dan terbesar di Asia Tenggara yang dibangun oleh Belanda.

Perintisan dan pembangunan Stasiun Radio Malabar dilakukan sejak tahun 1916, oleh seorang ahli teknik elektro yakni Dr. Ir. C.J. de Groot. Untuk pembangunan antenanya di Gunung Puntang dilakukan setahun setelahnya, 1917. Akan tetapi selalu mengalami kegagalan. Pada tahun 1923, de Groot berhasil menyelesaikan pekerjaan besarnya itu. Stasiun Radio Malabar pun diresmikan
oleh Gubernur Jenderal Dirk Fock. Dibangun pula sebuah kompleks hunian untuk para karyawan stasiun pemancar ini. Kompleks hunian ini dinamakan Radiodorf (Kampung Radio). Meski dinamakan "kampung", tetap saja fasilitas yang diberikan tidak tepat untuk diberikan kepada sebuah kampung asli. Faslitas yang tersedia saat itu ada rumah karyawan, gedung pemancar, lapangan tenis, kolam renang, dan konon sebuah bioskop.

Untuk memancarkan gelombang radio, digunakan bentangan antena sepanjang 2 km antara Gunung Puntang dan Gunung Halimun. Ketinggian antena dari dasar lembah rata-rata 350 meter. Kontur lembah yang berada di kawasan terpencil ini ternyata sangat mendukung efektivitas rambat gelombang yang mengarah langsung ke Nederland. Untuk mendukung tenaga listriknya, sejumlah pembangkit listrik dibangun. Ada PLTA Dago dan PLTA Plengan dan Lamadjan (di Pangalengan), serta sebuah PLTU di Dayeuhkolot.


Sekilas "Kontroversi" Yang Melingkupi Sejarah Stasiun Radio Malabar

Wikipedia sudah menjelaskan sejarah pembangunan Stasiun Radio Malabar. Akan tetapi, baik versi Inggris (apalagi versi Indonesia) nampak tidak lengkap). Ada seseorang yang telah menuliskan warisan peninggalan informasi dari Klaas Dijkstra, seorang warga Belanda yang bekerja sejak tahun 1920 hingga 1945 sebagai teknisi yang merakit pemancar di stasiun radio tersebut. Sementara itu Wikipedia menyebutkan bahwa peralatan yang digunakan di Radio Malabar adalah peralatan dari Telefunken. Namun sebelum peralatan dari Telefunken digunakan, telah digunakan Pemancar Ark buatan Poulsen yang dibeli dari Amerika Serikat oleh Dr. de Groot di tahun 1917, yang tak lain adalah pendiri Stasiun Radio Malabar. Ia membelinya dalam perjalanannya kembali ke Nederlands-Indie dari Nederland (karena alasan keamanan dan bertepatan dengan Perang Dunia I, beliau harus berputar sehingga bisa mampir ke Amerika).

Upacara peresmian stasiun pemancar ini gagal tanggal 5 Mei 1923, dikarenakan pemancar Ark itu tidak berfungs sebagaimana mestinya. Mengapa alat itu bisa tidak berfungsi, tidaklah jelas. Wikipedia menyebutkan bahwa tidak berfungsinya pemancar Ark itu diakibatkan oleh sambaran petir, sehingga upacara peresmiannya ditunda. Namun kapan upacara peresmiannya dilakukan juga tidak diketahui pasti. Sebelumnya, pemerintah Belanda telah membeli dua peralatan pemancar buatan Telefunken pada akhir tahun 1918. Satu pemancar dipasang di Belanda (di Kootwijk Radio), dan satu lagi diinginkan untuk dipasang di Malabar ketika itu. Namun Dr. de Groot tetap bersikeras untuk memasangkan pemancar Ark sehingga sempat terjadi ketegangan antara beliau dengan pihak otoritas di Den Haag. Ketika masa reparasi sedang berjalan, Dr. de Groot bahkan tidak berupaya (saya menduga beliau memang sudah berniat) memasangkan peralatan dari Telefunken itu. Padahal saat itu Ratu Wilhelmina benar-benar menunggu pesan radio dari Nederlands-Indie.

Tidak jelas apakah Dr. de Groot sendiri yang memasang peralatan dari Telefunken itu ataukah peralatan itu dipasang setelah ia meninggal. Peralatan yang konon lebih efisien dari pemancar Ark Poulsen itu akhirnya memang digunakan di Radio Malabar. Perbandingannya, pemancar Ark Poulsen mengalirkan daya ke antena sebesar 2400 kilowatt, sedangkan dari Telefunken menghasilkan hanya 400 kilowatt saja. Untuk ukuran sekarang ini, 400 kilowatt sudah termasuk daya yang besar. Dengan kata lain, Telefunken adalah yang terbaik dalam soal hemat energi.


Pemilihan Lokasi

Entah apa yang dibayangkan oleh mereka yang membangun Stasiun Radio Malabar. Apalagi masa itu jelas belum ada GPS dan peralatan pendukung canggih lainnya untuk menentukan lokasi. Mungkin memang ketika itu pengetahuan tentang geografi, navigasi, propagasi, dan transmisi gelombang sudah memadai. Namun lokasinya di tempat terkecil tentunya membuat orang bertanya mengapa untuk membangun sebuah stasiun radio pemancar yang besar seperti Stasiun Radio Malabar harus di tempat yang terpencil seperti di Gunung Puntang. Entah karena memang kebetulan sebelumnya telah berdiri Bosscha di tempat ini dengan perkebunan Malabarnya sehingga sejauh tertentu dapat memberikan dukungan infrastruktur atau memang ada perhitungan tertentu.

Sebuah dokumen menyebutkan bahwa pada masa setelah Perang Dunia I, mode komunikasi radio yang dimungkinkan baru berupa telegrafi (menggunakan sandi morse). Itu pun hanya bisa dilakukan pada frekuensi dengan gelombang yang panjang. Memperhitungkan beragam faktor di angkasa antara Hindia Belanda dan Belanda sendiri ketika itu juga penting untuk menentukan lokasi demi efisiensi transmisi, berkaitan pula dengan apakah sebuah transmisi mungkin mengalami apa yang disebut dengan skip (gelombang radio tidak terpantul kembali ke bumi dari lapisan atmosfer) atau bounce (kebalikannya, dipantulkan kembali ke bumi). Sebuah situs menuliskan bahwa Radio Malabar ketika itu bekerja pada 49,2 Khz dengan panjang gelombang 6100 meter, dan catu dayanya adalah sebesar 3,6 Megawatt. Data besaran ini tidak sekonsisten data sebelumnya. Meski demikian, mengapa tempatnya harus seterpencil itu tetap menjadi misteri.

Karena dibangun di lokasi terpencil tanpa dukungan infrastruktur pendukung di dekatnya (dan tentunya membutuhkan infrastruktur pendukung yang tidak sederhana untuk tempat terpencil seperti itu), maka dibangunlah kompleks hunian untuk para karyawan lengkap dengan berbagai sarana pendukung lainnya. Tempat inilah yang dinamakan Radiodorf (Kampung Radio) yang sebelumnya telah disinggung di atas. Karena sarana “super lengkap” itulah maka tempat yang berada di kaki Gunung Puntang ini disebut juga sebagai Negara Puntang.


Hancurnya Stasiun Radio Malabar

Pada tahun 1942, balatentara Dai Nippon menyerbu Nederlands-Indie. Pesawat tempur Jepang menyerang dan menjatuhkan bom dari atas Stasiun Radio Malabar. Sementara para pegawainya mengungsi ke Yogyakarta, petugas PTT bernama C. van den Berg menghancurkan beberapa peralatan penting disana. Meski akhirnya stasiun radio itu jatuh ke tangan Jepang, akan tetapi kondisinya tidak siap operasi, namun secara keseluruhan Stasiun Radio Malabar masih utuh. Setelah Belanda menyerah, C. van den Berg ditugasi untuk mereparasi kembali semua kerusakan di Stasiun Radio Malabar. Akan tetapi selama Perang Dunia II reparasi tersebut tidak membuahkan hasil (saya merasa aneh dengan orang yang satu ini, dia bisa merusak akan tetapi tidak bisa mereparasinya).

Setelah Jepang menyerah, mesin-mesin yang ada di dalam Stasiun Radio Malabar dipindahkan ke stasiun radio pemancar di Dayeuh Kolot. Stasiun Radio Malabar akhirnya harus menyudahi perjalanannya pada tahun 1946, dimana ada empat anggota Angkatan Muda PTT yang sedang berjaga di Stasiun Radio Malabar mendapatkan perintah dari Komandan Resimen di Citere , Pangalengan. Isi perintah itu jelas ditujukan kepada mereka untuk menghancurkan stasiun radio tersebut. Alasannya adalah agar stasun radio tersebut tidak jatuh ke tangan Sekutu. Dan kebetulan penghancuran Stasiun Radio Malabar adalah dalam rangka peristiwa Bandung Lautan Api. Setelah mendapatkan perintah, mereka langsung menghancurkan stasiun radio bersejarah tersebut.


Sumber:
tomita.web.id
arsip-brc.blogspot.com

1 komentar:

  1. Radio Malabar ditempatkan di lembah antara dua gunung itu untuk kemudahan membuat antena [Antena dibentangkan di lembah antara ke dua gunung tersebut]
    Jadi menurut saya bukan misteri, tapi suatu ide yang brilian Antena Radio dibuat memanfaatkan kondisi geografis yang ada,

    BalasHapus