Selasa, 23 September 2014

Industri Rekaman di Zaman Nederlands-Indie

Album stamboel Miss Riboet "Jalatak" yang dirilis BeKa Records tahun 1925

Penyanyi sekaligus aktris tunanetra Annie Landouw, 1939

Penyanyi terkemuka di era 1930-an, Miss Roekiah


Cikal bakal industri musik Indonesia masa kini, sesungguhnya telah dimulai jauh sebelumnya. Tepat di masa Nederlands-Indie, phonograph Colombia buatan Amerika Serikat telah diimpor ke Nederlands-Indie di awal tahun 1900-an. Antara kurun waktu 1903-1917, beberapa album rekaman phonograph mulai masuk dengan berbagai label seperti Gramophone Company, Odeon Record, Beka Record (Jerman), Columbia (Amerika Serikat), Parlophone Record (Inggris), Anker, Lyrophon, serta Bintang Sapoe. Dalam catatan, posisi pertama sebagai label yang paling banyak merilis singles diduduki oleh Odeon Record (2614 singles), disusul Bintang Sapoe (1140 singles), Gramophone Company (632 singles), Anker (478 singles), dan Beka (126 singles). Perkiraan data ini dikutip dari disertasi Yampolsky tentang studi industri rekaman di Indonesia dari tahun 1903-1917. Setidaknya, data ini menunjukkan bahwa industri rekaman masa itu tidak bisa diremehkan. Dan juga bukti bahwa industri rekaman saat itu menunjukkan itikad baik untuk mendokumentasikan sebuah karya seni, khususnya musik.

Di masa itu, ada tiga saudagar Tionghoa yang menggeluti dunia musik dengan mendirikan perusahaan rekaman. Dua pengusaha rekaman itu ada di Batavia yaitu Tio Tek Hong (Passer Baroe), dan Lie A Kon (Passer Senen). Satu lagi adalah
Lie Liang Swie di Surabaya. Ada juga Tan Tik Hing di Semarang. Meskipun begitu, ruang lingkup pasarnya sangat terbatas pada kaum urban elit saja. Pada saat itu, Phonograph dan Gramophone adalah perangkat pemutar rekaman yang mewah dengan harga relatif sangat mahal tentunya.

Musik-musik yang berasal dari rekaman Phonograph itu lalu dimainkan oleh para pemusik Belanda, Tionghoa, Ambon dan Manado melalui berbagai pertunjukan panggung. Lagu-lagu Amerika yang populer dimainkan saat itu antara lain adalah Lazy Moon yang dinyanyikan Oliver Hardy dalam film Pardon Us (1901), atau Mother O'Mine lagu yang diangkat dari puisi karya Rudyard Kipling. Saat itu patut diakui kiblat bermusik adalah ke Amerika Serikat. Para penyanyi wanita yang ada di Nederlands-Indie disebut crooner bukan singer, bahkan di depan nama para penyanyi wanita diberi embel-embel seperti Miss Tjitjih, Miss Riboet, Miss Roekiah, Miss Dja dan seterusnya. Ini berlangsung hingga akhir era 1940-an. Mungkin hampir sama dengan keadaan sekarang ini, dimana hampir semua penyanyi wanita bersematkan predikat diva.

Suara mendayu para miss ini lalu direkam oleh perusahaan rekaman seperti Tio Tek Hong yang berlokasi di Passer Baroe. Tio Tek Hong memulai bisnis rekaman di sekitar tahun 1904, dimana saat itu saudagar kaya ini mulai mengimpor phonograph dengan memakai roll lilin. Setahun kemudian, perusahaan rekaman Tio Tek Hong mulai merilis plaatgramofoon (piringan hitam) ke seluruh Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Saat itu Tio Tek Hong melakukan kerjasama dengan Odeon Record mulai dari tahun 1905, lalu bekerjasama dengan Columbia Record  pada tahun 1911-1912. Adapun lagu-lagu yang direkam Tio Tek Hong mencakupi jenis Stambul, Keroncong, Gambus, Kasidah, musik India, Swing, hingga irama Melayu.

Penyanyi dan kelompok musik yang direkam Tio Tek Hong Record cukup beragam. Untuk musik keroncong ada Orkest Krontjong Park, Orkest Moeridskoe, Krontjong Sanggoeriang, Kerontjong Aer Laoet, Krontjong Deca Park. Untuk musik Kasidah ada Kasida Sika Mas, Orkese Gamboes Metsir, Kasida Rakbie Mas, Gamboes Boea Kana serta Gamboes Turkey. Lagu-lagu yang populer saat itu antara lain  Tjente Manis, Boeroeng Nori, Djali Djali, Tjerai  Kasih, Paioeng Patah, Dajoeng Sampan, Kopi Soesoe, Sang Bango, Inang Sargie, Gelang Pakoe Gelang dan masih banyak lagi. Lagu-lagu ini direkam dalam bentuk vinyl berukuran 10 inci. Disamping itu Tio Tek Hong Record juga merekam sandiwara Njai Dasima yang dikemas dalam format boxset berisikan sebanyak 5 keping piringan hitam.

Tio Tek Hong ini memiliki trademark tersendiri pada album-album rekaman yang diproduksinya. Pada setiap vinyl produksi Tio Tek Hong di setiap sebelum lagu pada track pertama berkumandang, terdengar suara rekaman Tio Tek Hong melafalkan kalimat seperti ini : "Terbikin oleh Tio Tek Hong, Batavia".

Dalam iklan yang dimuat di Koran Ik Po Surakarta terbitan tanggal 25 Februari 1908, Tio Tek Hong menuliskan sederet iklan yaitu : "Plaat-plaat ini besarnja 27 c.M. dan sengadja saja soeroe bikin doewa moeka (djadi satoe plaat ada doewa lagoenja) soepaja harganja tida djadi terlaloe mahal, maski onkosnja bikin itoe plaat-plaat ada terlaloe berat".

Jadi dalam setiap single piringan hitam ukuran kecil  yang dijual Tio Tek Hong  Record terdapat dua lagu yaitu satu di muka 1 dan satu lagi di muka 2.

Pembeli piringan hitam saat itu memang sangat terbatas, karena harganya relatif mahal. Belum lagi harga gramophone yang hanya terjangkau oleh kalangan menengah keatas. Karenanya masyarakat sebagian besar bisa menikmati rangkaian lagu-lagu populer Inonesia saat itu justru dengan menonton pertunjukan yang digelar dan berlangsung di panggung-panggung hiburan yang berada di Pasar Gambir, Globe Garden, Stem En Wyns, Maison Versteegh dan Prinsen Park, seperti yang ditulis Remy Sylado dalam buku Ensiklopedia Musik.

Musik-musik Indonesia yang direkam pada awal era 1900-an pada umumnya menggunakan bahasa Melayu terutama yang ditemui dalam irama Keroncong serta Stamboel. Genre dan subgenre musik yang berkembang sejak 1903 adalah musik-musik Indonesia yang merupakan serapan dari budaya Arab dan Cina serta yang tercerabut dari pola musik etnik mulai dari Jawa, Bali, Cirebon, Sunda dan kemudian memasuki dasawarsa 1930-an mulai terdengar ragam etnik Tapanuli dan Minangkabau.


Di awal abad ke 20 ini ada beberapa pemusik yang tercatat menyita perhatian antara lain Tio Tek Tjoe seorang penggesek biola andal  hingga Hasan Muna. Lalu penyanyi penyanyi yang merekam suaranya pada label Gramophone Company atau His Master Voices (HMV) saat itu adalah Miss Jacoba Siregar dari Sumatera Utara tapi bermukim di pulau Jawa, ada juga Nji Raden Hadji Djoelaeha penyanyi Sunda dari Jawa Barat serta Miss Norlia.

Antara tahun 1926 - 1927 Beka Record menampilkan rekaman dari Miss Riboet, seorang penyanyi dan juga aktris layar lebar. Miss Riboet merekam sekitar 188 lagu pada label Beka Records ini. Selain Miss Riboet, penyanyi-penyanyi yang berada dibawah naungan Beka Record antara lain adalah Aer Laoet atau Herlaut, Toemina, juga ada Nji Moersih yang khusus menyanyikan lagu-lagu Sunda serta penyanyi pria bernama Amat. Lalu pada label Odeon bernaung sederet penyanyi penyanyi yang dikategorikan sebagai second-rank stars  antara lain adalah Miss Alang, Siti Amsah, Miss Lee, Nji Resna dan Nji Iti Narem. Dua nama terakhir khusus menyanyikan lagu-lagu bernuansa Sunda  .Di label Odeon ada Mr Jahri atau yang kerap dipanggil Jaar sebagai pemimpin ensemble yang mengiringi para artis Odeon. Di tahun 1928 muncul label Columbia Gramophone Company  yang mengetengahkan para penyanyi seperti Siti Aminah yang dikenal sebagai pelantun irama Melayu, Miss Julie serta dua pemusik yang tampil sebagai pemimpin orkes yaitu Fred Beloni, lelaki blasteran Eropa dan Asia serta pemimpin ensemble Abdul Rachman.

Di era 1920-an, genre musik populer pun mulai bisa disimak melalui gelombang radio. Siaran pertama yang ada di negeri ini berasal dari siaran radio Bataviase Radio Vereniging (BRV) di Batavia yang resminya mengudara 16 Juni 1925 berstatus swasta. Lalu  berdirilah radio di daerah dengan bantuan dari pemerintah Nederlands-Indie. Dan dalam waktu singkat muncullah perkumpulan-perkumpulan siaran radio Bahasa Indonesia, yang tujuan utamanya menyiarkan kesenian dan kebudayaan Indonesia. Tampaknya Belanda berhasil dalam upaya mengalihkan titik perhatian masyarakat dari masalah-masalah politik lewat budaya dan kesenian. Dan di era ini pula musik Barat yang tengah populer adalah musik Jazz yang berasal dari Amerika Serikat. Musik jazz saat itu hanya dinikmati oleh kalangan tertentu saja mulai dari kalangan orang Belanda dan Eropah lainnya serta segelintir kaum intelektual dan menengah keatas Indonesia.

Di Surabaya mulai dikenal nama Jose Marpaung, seorang pemain piano yang juga terampil melantunkan suara emasnya. Bersama Martin Kreutz dan Karel Lind, Jose Marpaung membentuk kelompok jazz bernama White Dove. Kelak hingga ke era 1960-an dan 1970-an, Surabaya tercatat banyak menetaskan pemusik-pemusik jazz berbakat mulai dari Jack Lesmana hingga Bubi Chen dan Maryono.

Di Makassar juga terdengar kiprah musik jazz dengan munculnya kelompok musik bernama Black and White Jazz Band yang anggotanya terdiri dari orang-orang Belanda dan pribumi, satu diantaranya adalah Wage Rudolf Soepratman yang kelak dikenal sebagai komposer lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Sebelum meletusnya Perang Dunia ke II, dikenal pula penyanyi bernama Broer Nadus yang memiliki nama asli Bernardus Sapulette, putra Maluku yang dikenal sebagai penyanyi Hawaiian di Makassar. Ada juga seorang remaja bernama Tan Tjeng Bok yang dalam usia 14 tahun pada tahun 1912 telah meniti karir sebagai biduan atau penyanyi yang memiliki daya pikat.

Di era 1920an terdengar pula sosok lelaki Maluku bernama Bram Tutuheru yang berkarir sebagai penyanyi dan pemimpin orkes di Batavia.  Di tahun 1927 seorang penyanyi wanita tunanetra Annie Landauw berhasil menjuarai kontes menyanyi di Surakarta, Jawa Tengah. Landouw kemudian diajak rekaman oleh perusahaan rekaman BeKa Record dan menetap di Batavia.

Di era 1930an kawasan Sumatera,Malaysia dan Permukiman Selat merupakan monopoli untuk rekaman piringan hitam 78 RPM (Rotation Per Minute)  yaitu Grammophone Company Limited yang merilis sederet lagu-lagu Melayu dengan label His Master’s Voice (HMV), dimana katalog berbahasa Inggris diperuntukkan buat Malaysia serta yang menggunakan bahasa Belanda dirilis hanya untuk wilayah Nederlands-Indie.


Ada 3 jenis orkes yang mencuat pada era 1930an yaitu Orkes Harmonium, Orkes Gambus dan Orkes Melayu. 
Syech Albar, ayah kandung penyanyi rock Achmad Albar, adalah pemusik Gambus yang sangat tersohor dari Surabaya Jawa Timur .Syech Albar ternyata sangat produktif merilis album-album baru, salah satu diantaranya "Zakhratoel Hoesoen" ditahun 1937. Juga terdengar berkibar nama S. Abdullah, seorang penyanyi dan pemusik yang mekam suara emasnya pada Gramophone Company serta Canary Record. Nama lainnya adalah penyanyi Menir Moeda yang kerap menyanyikan lagu-lagu Sunda serta dikenal pula sebagai seorang pelawak.Ada juga Miss Eulis, Miss Soepija, Gadjali, Miss Brintik, Mr Hanapi, Leo Sapulitu dan Bram Titalej atau lebih dikenal dengan nama panggung Bram Atjeh.

Di tahun 1936 muncul pemain biola  berbakat bernama Mas Sardi yang tergabung dalam Faroka Opera. Kelompok opera ini menggelar pertunjukan hingga ke Singapura. Setahun kemudian, tepatnya tahun 1937 Mas Sardi, yang juga ayah Idris Sardi ini bergabung dalam Sweet Java Opera. Dan sejak tahun 1939 Mas Sardi mulai terjun sebagai pembuat music score untuk film-film layar lebar seperti Rentjong Atjeh, Alang Alang, Srigala Item maupun Sorga Palsoe. Disamping itu juga dikenal penggesek biola sekaligus peniup klarinet Sastrodihardjo, ayah kandung dari peniup saxophone jazz Maryono. Lalu dikenal juga pianis dan komposer ternama Ismail Marzuki serta beberapa nama-nama pemusik yang berjaya pada era tersebut semisal Kartolo, Abdullah, Jahja , Zahiruddin, Atungan serta Hugo Dumas. Salah satu Orkes Kerontjong yang disegani saat itu adalah Lief Java yang dibentuk Hugo Dumas dan Abdullah.

Di tahun 1937 muncul penyanyi wanita Roekiah yang juga meniti karir dalam dunia teater dan perfilman. Penampilan penyanyi Roekiah kerap diiringi Orkes Kroncong Lief Java pimpinan pemusik S. Abdullah dan H. Dumas. Roekiah mempopulerkan lagu-lagu seperti Terang Boelan hingga Kerontjong Moritsko. Di tahun 1938 penyanyi populer Annie Landouw akhirnya bergabung juga dengan Orkes Keroncong Lief Java ini.  Selain itu, di tahun 1937  juga  berdiri sebuah kelompok musik jazz bernama Melody Makers yang didukung gitaris Jacob Sigarlaki hingga drummer Boetje Pesolima. Mereka memainkan musik Dixie dan Ragtime secara mengagumkan.

Jangan lupa pula  sederet penyanyi lain yang tak kalah sohornya antara lain Miss Netty, Jan Bon, Van Der Mul, Miss Lie, Moenah, Paulus Itam, Miss J van Salk, Harry King, John Iseger, Miss Ninja, Miss J Luntungan, Mohammad Jasin Al Djawi, Miss C Luardie, Miss Dewe  serta Leo Spel. Gaya bernyanyi mereka terinspirasi dengan gaya crooner Amerika Serikat. Di masa ini musik kroncong, langgam, gamelan, gambus dan jazz merupakan genre musik  yang mendapat sambutan baik dikalangan masyarakat luas. Untuk musik  gamelan dikenal 3 pesinden langgam Jawa yaitu Njai Demang Mardoelaras, Bok Bekel Mardoelaras dan M.A Worolaksmi. Untuk gambus maupun qasidah dikenal nama nama seperti Sjech Albar, S.H. Alaidroes dan Mohammad Jasin Al Djawi.

Untuk jenis keroncong dikenal 3 (tiga)  penyanyi yang sangat terkenal yaitu Parmin, Soekarno dan Soeparto. 

Para pemusik yang dianggap andal di era ini antara lain Hugo Dumas yang memimpin dua kelompok musik sekaligus yaitu Lief Java yang cenderung memainkan musik keroncong dan The Sweet Java Islanders yang memainkan musik Hawaii atau Irama Lautan Teduh. F.H Belloni seorang komposer dan pemimpin ensemble musik. S.Mohammad Bin Jitrip yang memimpin Orkes Gambus dan S.Mohammad Alajdroes yang mempin Orkes Harmonium.H.E.L.W.E DeSizo yang memimpin De Siso’s Strings Orchestra.

Pada saat pendudukan Jepang di Indonesia dalam kurun waktu 1942 hingga 1945, musik Jazz nyaris tak terdengar gaungnya sama sekali. Tak satu pun kelompok musik Indonesia yang memainkan repertoar jazz, termasuk memutar rekaman musik  jazz melalui siaran radio. Penyebabnya adalah situasi politik yang tidak memperkenankan budaya Amerika berkembang di Indonesia. Ruang gerak musik jazz terbendung dan musik yang diperkenankan bergaung saat itu adalah musik yang bernuansa propaganda Jepang serta lagu-lagu daerah termasuk diantaranya adalah musik keroncong. Sebagian besar orang Jepang yang menduduki Indonesia malah terpukau dengan lagu Bengawan Solo karya Gesang.


Sumber:

1 komentar: