Minggu, 26 April 2015

Sentuhan Para Habib dan Ulama (Nederlands-Indie dan Timur Tengah) Terhadap Jami'at Kheir: Sekilas Perjalanan Historis (Bagian 1)

Para pendiri dan staf Jami'at Kheir di depan bangunan madrasah


Perkembangan dakwah di Batavia pada abad ke-20, faktanya tidak dapat dilepaskan dari jasa para habib yang tidak kenal lelah dan senantiasa mengajar dan berdakwah ke berbagai tempat di Batavia. Nama pertama yang sangat berpengaruh tentu saja adalah Habib Utsman bin Abdullah bin Agil bin Yahya. Mufti Batavia itu memiliki pengaruh yang sangat luas dalam kehidupan keislaman di Jakarta dan sekitarnya. Kitab-kitab karya beliau, hingga kini masih menjadi pegangan para ulama Betawi.

Setelah periode Habib Utsman bin Yahya berlalu, ada lagi sejumlah tokoh habib di sana yang namanya tetap dikenang hingga kini. Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Habib Ali bin Husain Al-Aththas, dan Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, adalah sebagian di antara mereka. Peran mereka bersama para ulama lainnya juga
turut berjasa atas berdirinya sebuah lembaga pendidikan yang sangat penting: Jami’at Kheir. Lembaga pendidikan ini berdiri pada tahun 1901 sebagai badan sosial Islam yang pertama. H.O.S Tjokroaminoto (tokoh utama Sarekat Islam) dan K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) pernah menjadi pengurusnya.

Pada tahun 1903, Jami’at Kheir mengajukan permohonan kepada pemerintah Nederlands-Indie agar diakui sebagai organisasi yang sah secara hukum yang berlaku saat itu. Pengesahan itu ditanda tangani oleh Sa’id Basandid (ketua), As-Sayyid Muhammad bin Abdullah bin Syahab (ketua II), As-Sayyid Muhammad Al-Fakkir (sekretaris), dan As-Sayyid Idrus bin Ahmad bin Muhammad bin Syahab (bendahara). Izin tersebut dikeluarkan pada tahun 1905, namun dengan syarat tidak boleh membuka cabang di luar Batavia. Pada 17 Juli 1905, As-Sayyid bin Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Syahabuddin terpilih sebagia ketua.

Pada bulan April 1906, Jami’at Kheir mengajukan permohonan untuk mendirikan madrasah dan balai pertemuan. Lembaga ini kemudian mengangkat beberapa wakil guna mencatat anggota-anggota di daerah untuk diundang dalam pertemuan guna menyamakan dan menyatukan tujuan dan cara pelaksanaan program kerja.

Kala itu, kemajuan yang cukup pesat didapat Jami’at Kheir hingga gaungnya tersebar ke berbagai daerah. Banyak daerah yang meminta izin untuk mendirikan cabang. Karena berlakunya larangan dari pemerintah Nederlands-Indie, pengurus Jami’at Kheir menyarankan agar mereka mendirikan perkumpulan yang berdiri sendiri. Jumlah anggotanya pun bertambah dan berasal dari berbagai kalangan, termasuk para imam masjid, guru, pegawai pemerintah maupun swasta, qadhi (penghulu) dan lain-lain. 
 

Pada tahun 1908, Jami’at Kheir menjalin hubungan dengan para pemuka di Timur Tengah. Di antara para pemuka itu adalah As-Sayyid Ali Yusuf (penerbit surat kabar al-Muayyad), Ali Kamil (pemimpin redaksi al-Liwa’), Abdul Hamid Zaki (penerbit as-Siyasah al-Mushawarah), Ahmad Hasan Tabarah (penerbit majalah Tsamaratul-Funun), Muhammad Said Al-Mazjub (penerbit surat kabar al-Qisthatul Mustaqim), Abdullah Qasim (pemimpin redaksi Syamsul-Haqiqah), dan Muhammad Bakr Bik (pemimpin redaksi al-‘Adl). 
 
Untuk pertama kalinya, Jami’at Kheir mendirikan sebuah madrasah tanpa menarik uang bayaran para murid pada tahun 1909. Sekali dalam seminggu, juga diadakan pendidikan untuk kaum ibu dan bapak. Ketika itu pula, Jami’at Kheir mengupayakan penghapusan larangan bagi etnis Arab untuk bepergian ke luar Batavia kecuali dengan izin resmi. 
 
Sekolah yang diselenggarakan Jami’at Kheir bukanlah semata-mata sebagai sekolah agama. Ada pula pelajaran berhitung, sejarah, ilmu bumi, bahasa Inggris. Mengenai bahasa, Jami’at Kheir malah mengajarkan pendidikan bahasa Inggris dan tidak mengajarkan pendidikan bahasa Belanda, tidak seperti di sekolah-sekolah umum saat itu. 
 
Pada tahun 1910, Jami’at Kheir membangun tempat kost untuk para pelajar. Antara yang mampu dan tidak, dibedakan. Bagi yang tidak mampu, terutama anak-anak yatim tidak dikenai biaya. Jami’at Kheir malah memberikan makanan dan pakaian untuk mereka. Selain itu, Jami’at Kheir juga mengupayakan pengumpulan zakat dan membagikannya kepada mereka yang berhak. 
 
Pada tahun 1911, Jami’at Kheir menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang waktu itu dicetak di Singapura. Lembaga ini pun mulai meningkatkan mutu pendidikan dengan para guru dari Mesir, Tunisia, Maroko, Sudan, dan Turki. Hubungan dengan organisasi kaum nasionalis pun dijalin, seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam.

Al-Hasyimi dari Tunisia (1911) adalah pengajar pertama yang berasal dari luar Nederlands-Indie. Sebelumnya, hanya pengajar dari luar Batavia, yaitu H. Muhammad Manshur dari Padang. Pada bulan November 1911 didatangkan kembali para pengajar dari luar negeri, yaitu Syaikh Ahmad As-Surkati (Sudan), Syaikh Ahmad Thalib (Maroko), dan Syaikh Muhammad Abdul Hamid (Makkah). Dua tahun berikutnya, menyusul lagi para pengajar dari luar negeri seperti Muhammad Nur Al-Anshari, Muhammad Abul Fadhl Al-Anshari, Hasan Hamid Al-Anshari, dan Ahmad Al-‘Awif.



Sumber:
Majalah AL-KISAH No. 13/Tahun IV/19 Juni – 2 Juli 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar