Selasa, 16 Juni 2015

Makam Belanda di Kebun Raya Bogor: Catatan Persinggahan Saya

Foto ini saya ambil ketika kunjungan pertama di Kebun Raya Bogor, Sabtu (30/05/2015)

Papan keterangan yang mengalami kerusakan kecil namun tetap disayangkan

Nisan dari makam bersama Henrici Kuhl (Heinrich Kuhl) dan Johan Conrad van Hasselt

Masih di kunjungan pertama, berfoto bersama salah satu nisan makam

Foto makam Belanda yang saya ambil sendiri dari arah lain

Dalam kunjungan kedua pada hari Minggu lalu (14/06/2015). Danau atau yang biasa disebut dengan
"Kolam Gunting" ini berada tidak jauh dari makam Belanda


Bersama seorang pria tua asing dari Leiden (Belanda) yang datang secara khusus ke makam Prof. Kostermans.
Dari beliau, saya mendapat pengalaman dan wawasan menyenangkan



Letak makam Belanda ini ada di Kebun Raya Bogor, tidak begitu jauh dari pintu masuk utama. Anda cukup berjalan kaki setelah melewati pintu masuk utama. Jika Anda berjalan dari pintu masuk utama, makam Belanda ini terletak di arah kiri dari danau, tepatnya di tengah-tengah rimbunnya pohon bambu. Saat memasuki jalan kecil di tengah rimbunnya pohon bambu, kesan yang akan Anda dapatkan mungkin tidak jauh dari "angker", "seram" atau yang lainnya. Memang bagi yang tidak biasa, tempat itu terlihat cukup membuat merinding. Terlepas dari kesan-kesan seperti itu, setelah Anda tiba di depan makam Belanda tersebut rasanya akan lain lagi. Suasananya begitu teduh dan tenang sehingga membuat siapa pun yang datang ke sana akan betah berlama-lama di tempat itu. Anda akan dibuat seperti terlepas dari rutinitas harian yang begitu padat. Kebetulan di depan makam itu disediakan tiga kursi panjang untuk tempat duduk pengunjung (tidak sempat saya abadikan dalam foto).

Saya sendiri baru dua kali mengunjungi Kebun Raya Bogor, dan dua kali itu pula saya sempatkan untuk singgah ke makam Belanda tersebut. Tepat di persinggahan kedua saya di hari Minggu kemarin (14/06/2015), saya bertemu seorang pria asing yang sudah tua. Awalnya saya tidak begitu tertarik dengan pria asing tersebut. Tetapi setelah
dia melakukan penghormatan terhadap nisan makam Prof. A.G.J.H. Kostermans bahkan membersihkan nisan itu dari kotoran (bukan kotoran hewan, awas salah tangkap makna), saya tertarik untuk mendekatinya. Saya pun menawarkan diri untuk membantunya membersihkan nisan, pria asing tersebut dengan senang hati mempersilahkan saya membantunya.

Sambil membersihkan nisan, saya memulai pembicaraan dengan memperkenalkan diri (bodohnya saya saat itu adalah lupa menanyakan namanya) dan bertanya pada pria asing tersebut darimana asalnya. Pria asing tersebut menjawab, ia berasal dari Belanda. Lebih tepatnya ia memperkenalkan diri sebagai orang dari Universitas Leiden. Ia sempat mengeluhkan betapa kurang diperhatikannya keadaan makam Belanda tersebut, sehingga menimbulkan kesan seram bagi para pengunjung. Ia juga mengatakan perlu ada organisasi khusus yang memperhatikan situs-situs bersejarah khususnya yang ada di Kebun Raya Bogor. Setelah bersama-sama membersihkan nisan Prof. Kostermans, ia bertanya pada saya dalam bahasa Inggris. Beginilah percakapan saya dengan pria asing tua itu. Dari percakapan tersebut, saya menangkap kesan kalau pria asing tua itu memiliki hubungan khusus (yang jelas bukan hubungan asmara) dengan Prof. Kostermans. Beginilah percakapan saya dengan pria asing tua tersebut jika diterjemahkan:

Pria Asing: "Kamu tahu siapa orang ini?"

Saya: "Saya tahu, Pak. Beliau adalah Prof. Kostermans, seorang ahli botani yang disegani”

Pria Asing: “Lebih tepatnya, beliau lebih dari seorang ahli botani. Beliau adalah saudara tua, teman lama, sekaligus guru saya"

Saya: "Dia adalah guru Anda, Pak?" (Agak terkejut mendengar pengakuannya, tapi saya mulai bisa menerima setelah melihat ekspresi wajahnya yang seolah menyiratkan masa-masa lalunya bersama Prof. Kostermans)

Pria Asing: "Benar. Beliau juga memiliki kontribusi besar untuk kelangsungan pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan yang ada di Indonesia ini. Saya datang kesini sendirian, khusus untuk mengunjungi makam beliau?"

Saya: "Mengapa Anda rela jauh-jauh sendirian dari Belanda ke Indonesia hanya untuk mengunjungi makam seseorang?" (Saya seolah tak percaya, orang setua itu rela menempuh perjalanan jauh dari Belanda ke Indonesia hanya untuk mengunjungi makam Prof. Kostermans? Entah apa yang membuat sosok Prof. Kostermans begitu spesial di matanya. Saya tidak berani menyinggung pembicaraan ke arah itu)

Pria Asing: "Saya datang ke sini selain mengunjungi makam beliau, juga karena saya begitu menghormati dan mengagumi beliau" (Jawaban yang terlalu singkat untuk besarnya rasa penasaran saya)

Setelah percakapan tersebut, saya terdiam beberapa saat. Dalam hati saya merasa malu sendiri, betapa orang-orang Belanda sangat memperhatikan peninggalan-peninggalan sejarah negara mereka di masa lalunya di Indonesia maupun peninggalan sejarah asli Indonesia. Sementara orang Indonesia sendiri tidak banyak yang mau melakukan hal yang sama dengan orang-orang Belanda.

Setelah itu, kami beranjak dan menyempatkan diri untuk melihat-lihat kondisi nisan yang lainnya. Tepat di nisan makam bersama dari Henrici Kuhl (Heinrich Kuhl) dan Joh. Corn, van Hasselt (Johan Conrad van Hasselt), kami berhenti. Ia memperhatikan nisan tersebut, dan berjalan ke bagian belakang nisan, ada beberapa perkataan dalam bahasa Latin yang sudah mulai tidak terbaca jelas. Di saat bersamaan ada seorang guide yang sedang memandu dua wisatawan asing asal Jepang. Pria asing tua itu meminta arang pada guide tersebut untuk memperjelas tulisan Latin di nisan tersebut. Sayang sekali guide tersebut tidak mempunyai arang (lagipula kalau dipikir-pikir untuk apa guide membawa arang). Sebenarnya saya menyimpan spidol hitam di ransel, tetapi saya tidak menawarkannya untuk menggantikan arang yang diminta, khawatir tidak diperbolehkan oleh pihak pengelola. Guide dan dua wisatawa asal Jepang itu kemudian meninggalkan makam dan pergi ke tempat lain.

Kami pun kembali duduk di dekat nisan Prof. Kostermans untuk beristirahat sejenak, apalagi pria asing tua ini agak tertatih-tatih saat berjalan. Ia menunjuk tiga warna (merah, putih, biru) pada nisan tersebut dan mengatakan, ini adalah warna dari bendera Belanda dan ini adalah cerminan bahwa Prof. Kostermans tetaplah bangga menjadi orang Belanda terlepas dari baik atau buruknya. Ia menambahkan, seharusnya sosok Prof. Kostermans dijadikan salah satu teladan bagi masyarakat Indonesia dalam kehidupan bernegara, betapa ia tetap bangga menjadi bagian dari bangsa dan tanah air tempatnya dilahirkan. Maka seharusnya pula orang Indonesia tetap bangga menjadi bagian dari negara yang bernama Indonesia, baik atau buruknya, kalau perlu merasa wajib membangun negaranya untuk kehidupan yang lebih baik (sepintas pria asing tua ini seperti selalu memantau perkembangan di Indonesia saja).

Di akhir pertemuan, kami menyempatkan diri untuk berfoto bersama di nisan Prof. Kostermans. Saya pun pamit untuk meninggalkan makam terlebih dahulu. Tak lupa, saya menyatakan bahwa saya sangat bersenang hati bisa berkenalan dengannya (meskipun lupa untuk menanyakan namanya dan kontak yang dimilikinya). Pria asing tua itu pun menyatakan hal yang sama seperti saya. Ia merasa senang bisa mengenal dekat orang Indonesia dari segi individu yang menurut dia selain ramah ternyata juga masih peduli pada peninggalan sejarah (bukan bermaksud sombong, tapi memang saya sudah lama ada niat untuk rutin mengunjungi makam Belanda itu). Saya pun perlahan beranjak dari makam Belanda tersebut dan duduk di salah satu kursi panjang yang ada. Beberapa saat kemudian, pria asing tua itu kembali memberikan penghormatan di depan nisan makam Prof, Kostermans seakan berpamitan. Dengan langkah yang pelan, ia meninggalkan tempat itu dan pergi arah Taman Teijsman. Dalam hati, saya berdoa agar bisa bertemu kembali dengan beliau, pria asing tua tersebut, orang Belanda yang sangat ramah yang baru pertama kali saya temui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar